AKU PUNYA CERITA
Selamat datang dan selamat membaca
Translate
Minggu, 14 September 2014
LUTUNG KASARUNG (Cerita Rakyat Jawa barat)
Jumat, 05 September 2014
SICANTIK BERPAYUNG HIJAU
Kisah ini terjadi bulan Desember tahun 2012 lalu.
Rasa lapar memaksa aku untuk mencari makanan cepat saji, padahal diluar sana masih gerimis, tetapi kebutuhan perut sudah tak bisa ditunda lagi. Akupun memaksakan diri untuk pergi keluar rumah mencari makanan. Aku pakai jaket kulit kesayanganku dan aku lapisi lagi dengan jaket parasut agar tidak tembus air dan terlindung lebih aman dari hujan. Motor aku larikan dengan kecepatan wajar saja. Jalanan lumayan agak lengang karena hujan mungkin sehingga orang malas bepergian. Biasanya sebelum pulang kantor aku suka membeli nasi bungkus, tapi hari ini karena pekerjaanku cukup banyak dan mengharuskan aku kerja lembur, karena kelelahan aku langsung pulang. Sesampainya dirumah baru sadar kalau aku belum makan. maklum tinggal sendirian segala urusan terpaksa aku urus sendiri juga. Sesampainya ditempat makan aku tidak ba bi bu lagi langsung memesan makanan kesukaanku. Biasa TONG SENG pedas, sangat cocok dinikmati disaat gerimis dan udara dingin seperti ini. Usai makan aku jalan-jalan sebentar melihat-lihat pakaian di bagian lantai 2 gedung TOSERBA itu, siapa tahu ada T-Shirt yang bagus. Lumayan dapat dua dan aku sangat menyukai designnya yang simpel tapi asik untuk dilihat.
Dirasa senua kebutuhanku sudah selesai, akupun segeraa pulang ingin istirahat melepaskan rasa penat di badan yang seharian penuh dipakai kerja. Hujan masih saja gerimis diluar sana, tetapi panorama malam terasa jadi sangat indah dan romatis, air hujan yang turun germis seperti tirai alami menyelimuti malam. Disaput cahaya lampu jalanan semakin kemilau seperti jutaan butiran jarum perak berjatuhan dengan lembut dipermukaan bumi. Sesampainya di perempatan lampu merah aku segera mengambil arah lurus ke jalaur tiga depan Taman Pahlawan. Persis dipinggir jalan berdiri seorang wanita cantik degan gaun hijau dan berpayung hijau pula. Watak genit dan penggoddaku mulai kambuh, ga bisa diem kalau melihat gadis cantik sendirian. Pasti dia sedang menunggu angkutan umum, apa salahnya aku tawarin tumpangan, siapa tahu mau, pikirku dalam hati.
Akupun berhenti tepat didepannya,"Hai, selamat malam...lagi nunggu angkot ya ? jam segini agak lama biasanya karena angkotnya sudah agak jarang". Aku langsung menyapanya, tak perduli dia mauu jawab apa tidak. tetapi ternyata gadis cantik ini sangat ramah diapun menjawab sapaanku. "o..iya malam juga A, dari tadi aku nunggu sudah lumayan lama sih, tapi belum juga ada angkotnya" jawab dia sambil agak menundukan wajahnya. "Pulangnya kemana?" tanyaku lagi. "Ke Bojongkoneng Atas A". Jawabnya pendek. La dalah....rejeki memang ga pernah disangka, ternyata dia satu tujuan denganku."Eh...kebetulan aku juga pulang kesana, mau kalau aku antar?". yaang ditanya kelihatan agak ragu-ragu, dia diam sesaat, keemudian berkata"Apaaa...gak merepotkan? lagian aku tinggalnya agak diatas dekat perbukitan". Aku hanya senyum dan mempersilahkannya untuk naik diboncenganku. Dan kamipun berlalu dari pinggir jalan itu. Dengan hati senang akupun terus mengajak berbicara sama si cantik dibelakang punggungku, payungnya mulai dilipat karena gerimispun mulai reda. Aku asik bercerita tentang ini dan itu hitung-hitung membuang rasa kaku diantara kami. Dan ternyata sicantik ini sangat asik diajak bicara, sesekali terdengar tawanya pelan ditahan saat aku bergurau.
Tanpa terasa perjlanan kami sudah masuk daerah yang kami tuju, "Sebelah mana tinggalnya?" tanyaku lagi. "Masih keatas lagi A lewat perumahan Villa Bukit Mas", jawabnya. kamipun terus melaju, jalanan mulai menanjak karena mulai memasuki daerah perbukitan. Kendaraan yang lewat mulai jarang hanya satu dua saja itupun sangat jauh jaraknya, sehingga suasana menjadi terasa semakin sunyi.
Tanjakan terakhir disamping perumahan itu sudah kami lewati, Tiba-tiba saja aku mencium bau yang sangat tidak sedap, membuat perut mual dan agak pusing,"Neng kamu mencium bau ga enak ga sih?" tanyaku. Yang ditanya kali ini tidak menjawab, aku pikir mungkin dia ketakutan dengan bau tadi, belum selesai aku berpikir tiba-tiba ada lagi bau bunga yang sangat menyengat penciuman, kali ini kudukku agak merinding rasanya, aku mau berkata lagi, tetapi tiba-tiiba saja motorku mati mendadak. Untungnya sudah dijalan yangg datar."Lho kenapa ni motor?" aku sedikit menggerutu. "Neng maaf ya motorku mati tiba-tiba....ditempat sepi lagi, aku gak ada niat gak baik ko". Aku segera memberi penjelasan pada si neng, khawatir dia beranggapan aku akal-akalan mematikan motorku. tetapi yang diajak bicara tidak menjawab juga, akupun menengokkan kepalaku kebelakang...dan...Aduh...ternyata si neng sudah tidak ada dibelakangku, akupun kaget dan sedikit panik. Tetapi mana mungkin dia jatuh dari boncengan karena aku menjalankan motor biasa saja. Lagi pula jika dia jatuh pasti terdengar dan akan menjerit. Lalu kemana perempuan itu....???, aku berusaha keras berpikir logis, tiba-tiba bau bangkai dan bau amis sangat menyengat penciumanku dan serumpun bambu disamping jalan bergerak sendiri seperti diguncaangkan batang-batangnya. Ahirnya aku tak ingin banyak berpikir lagi, dia pasti bukan manusia..!!!. Aku segera menstarter motorku dan berbalik arah untuk pulang kerumah. Huh...sepanjang menuruni jalan badanku terasa dingin tak karuan seperti meriang mendadak. Dan sesampainya dirumah aku segera memasak air hangat untuk mandi dan merifresh pikiran dan perasaanku yang tak karun.....
Cantik....tetapi ternyata....hiiiiiiiyyyyyyyyy.....
Ah sudahlah tidur saja, akupun lelap sampai pagi menyambutku kembali.
Selasa, 29 April 2014
Legenda Ciung Wanara (Cerita rakyat Pasundan)
Lanjutan
Kini
Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, dengan
kemampuan ilmu kanuragan yang cukup tinggi, berkat bimbingan kedua orangtua
angkatnya dan juga Nagawiru. Ayam jantan kesayangannya tidak pernah jauh dari
dirinya, kemanapun pergi selalu saja dibawa menyertai. Suatu hari Ciung Wanara
berpamitan kepada kedua orang tuanya, ia menyampaikan keinginannya untuk pergi
ke Galuh ingin menemui sang Raja. Naluri seorang anak tidak dapat dihalangi
oleh apapun, meskipun dirinya belum tahu yang sebenarnya tetapi nuraninya tetap
mengajak berangkat untuk menjumpai sang Raja galuh. Ciung Wanara sangat
memahami tidak mudah baginya untuk bisa bertemu dengan Raja Galuh, diapun
memutar otak mencari cara untuk bisa melaksanakan keinginannya.
Berangkatlah
Ciung Wanara ke kerajaan Galuh dengan membawa serta ayam jantan kesayangannya.
Sesampainya di Galuh, Ciung Wanara bertemu dengan dua orang patih yang bernama
Purawesi dan Puragading. Kedua orang patih keraton itu tertarik melihat
penampilan ciung Wanara, yang membawa-bawa ayam jantan, akhirnya kedua patih
itu menghampiri dan mengajak adu tanding dengan ayam miliknya masing-nasing.
Ciung Wanarapun tidak menolak ajakan kedua orang patih tersebut, maka
terjadilah pertandingan sabung ayam di tengah alun-alun kota Galuh. Nasib baik
berpihak pada Ciung Wanara, ayam jantan kesayangannya memenangkan pertandingan
dan ayam kedua patih tersebut kalah sampai mati.
Karena
pada masa itu pertandingan sabung ayam sedang disukai dan digandrungi
masyarakat kota Galuh, dengan serta merta kemenangan Ciung Wanara atas ayam
milik kedua patih tersebut segera tersiar ke seantero kota Galuh hingga terdengar
sampai kekeraton. Bahwa di kota ada seorang pemuda tampan bernama Ciung Wanara
memiliki seekor ayam jantan yang tangguh. Rajapun mengutus Ki Lengser untuk
mencari pemuda tersebut. Takdir telah mempertemukan antara ayah dan anak yang
selama ini terpisah oleh fitnah jahat perbuatan Dewi Pangrenyep. Ki Lengserpun
tanpa harus bersusah payah berhasil bertemu dengan Ciung Wanara, yang kemudian
diajaknya untuk menghadap Sang Prabu Barma Wijaya Kusumah. Pucuk dicinta
ulampun tiba, hati Ciung Wanara sangat bahagia dan gembira, karena tujuannya
untuk bertemu dengan Raja Galuh akhirnya terwujud tanpa harus menemui banyak
halangan ataupun rintangan.
“Anak
muda siapa namamu dan dari mana asal mu?” Sang Prabu segera memeriksa dengan
siapa ia berhadapan saat ini. Ditatapnya wajah pemuda tampan dengan
penampilannya yang sangat sederhana tetapi tetap memikat siapapun orang yang
memanndangnya. Semakin ditatap semakin terasa ada getaran yang tak bisa
diterjemahkan oleh kata-kata. Sang Prabu merenung dalam sambil terus menatap
pemuda yang duduk bersimpuh dihadapannya. “Nama saya Ciung Wanara kanjeng
Prabu, saya berasal dari dusun Gegersunten, anak angkat dari Aki dan Nini
Balangantrang”. Setelah mendapat cukup penjelasan dari pemuda yang duduk
dihadapannya, sang Prabu Barma Wijaya Kusumahpun melanjutkan niatnya untuk
mengajak pertandingan sabung ayam dengan Ciung Wanara. Dan ajakan itupun
disambut baik oleh Ciung Wanara. Keduanya bersepakat, Jika Ciung Wanara menjadi
pemenang dalam sabung ayam itu maka setengah dari kerajaan Galuh akan diberikan
kepada Ciung Wanara dan Ciung Wanara akan di akui sebagai anaknya. Ciung Wanara akan diangkat sebagai raja yang
syah. Namun sebaliknya, jika Ciung Wanara kalah dalam pertandingan sabung ayam
tersebut, maka nyawa Ciung Wanara menjadi taruhannya, dia akan dihukum mati
sebagai bukti kekalahannya.
Dan
sabung ayampun segera berlangsung dengan seru, pada awalnya ayam milik Ciung
Wanara nampak kalah dan terdesak, bahkan....ayam itupun jatuh terkapar hampir
mati. Ciung Wanara segera mengambil ayamnya dan dibawa lari ketepian sungai
Cibarani untuk segera dimandikan agar ayamnya segar kembali. Disaat yang sedang
kritis itu Nagawirupun datang dan masuk meraga sukma ketubuh ayam milik Ciung
Wanara. Ayam itupun dengan serta merta menjadi segar dan kuat kembali. Ciung
Wanara segera kembali membawa ayamnya yang
sudah dimandikan dan pertandinganpun dilanjutkan. Kali ini berkat ada kekuatan
Nagawiru didalam tubuh ayam milik Ciung Wanara maka dengan mudah dan cepat ayam
milik Prabu Barma Wijaya Kusumahpun mulai kalah dan terdesak, bahkan ayam itu
sering lari ketakutan keluar dari arena pertandingan. Hingga akhirnya ayam
milik sang Prabu kalah dan menemui ajalnya. Ciung Wanara kembali memenangkan
pertandingan sabung ayam tersebut. Dia sangat bersyukur kepada Sang Maha
Pencipta atas segala anugrah yang telah dilimpahkannya.
Sesuai
dengan kesepakatan Prabu Barma Wijaya Kusumahp memenuhi janjinya dan mengakui Ciung Wanara
sebagai putranya yang syah. Maka kerajaan Galuhpun dibagi dua oleh sang Prabu,
setengahnya lagi diberikan kepada Hariangbanga dan diangkat pula menjadi raja
menggantikan dirinya. Segala rahasia kehidupan Ciung Wanarapun terbuka sudah
dan segala kesalahan yang dilakukan Dewi Pangrenyep terbongkar dengan
sendirinya, Setelah Ki Lengser menceritakan bahwa ibunya Dewi Naganingrum masih
ada dan di asingkan di sebuah hutan
Ciung Wanara sangat berbahagia dan segera menjemput ibundanya. Begitupun
dengan kedua orang tua angkatnya Aki dan Niini Balangantrang dibawa serta
kekeraton. Kini Ciung Wanara telah menjadi seorang raja.
Sementara
Dewi Pangrenyep, mulai hatinya ketar ketir setelah tahu kalau Ciung Wanara
adalah anak bayi yang dibuangnya dulu.
Hari-harinya jadi penuh dengan kegelisahan dan ke khawatiran. Hingga akhirnya
kegelisahan dan ke khawatirannya itupun segera terjawab dan terwujud. Prabu
Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewi Pangrenyep
terhadap ibunda dan dirinya sendiri, maka segera membentuk pasukan khusus untuk
menangkap Dewi Pangrenyep. Tanpa menemui kesulitan yang berarti Dewi pangrenyep
segera tertangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana untuk membayar
segala kejahatan dan kekejiannya. Kini Pangrenyep
mendekam didalam penjara, menangis dan menyesal tidak mengembalikan keadaannya
dan tidak menjadikan dirinya lepas dari salah dan perbuatan kejinya. Sekalipun
menangis darah tetap Pangrenyep harus mendekam didalam penjara sebagai tebusan
atas dosanya.
Sementara
Raden Hariangbanga sangat kaget ketika
mengetahui kalau ibunda tercintanya telah ditangkap oleh tentara prabu Ciung
Wanara dan dijebloskan kedalam penjara. Pertarungan antara dua orang adik kakak
beda ibu itupun tak dapat terelakan lagi. Meskipun raden Hariangbanga sangat
sadar dengan apa yang telah dilakukan ibundanya, tetapi dia tetap ingin membela.
Pertarungan sengit terus terjadi dan raden Hariangbanga harus berlaku satria
dia kalah terdesak oleh adiknya Ciung Wanara.
Konon
menurut tutur yang beredar di masyarakat tatar Pasundan Karena kalah terdesak
dalam pertarungan tubuh raden Hariangbanga dilempar oleh Ciung Wanara hingga menyebrangi sungai
Cipamali, maka sejak itulah kerajaan galuh benar benar terbagi menjadi dua. TAMAT
Senin, 28 April 2014
Legenda Nini Anteh (Nyai Anteh)
Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan
bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki
panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan
raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita
dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu
lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya
kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah
calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang
dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal
saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri
Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak
remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua
denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli
satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama,
maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu
akan aku hukum!”
“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa
membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu
seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil
tersenyum.
“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti
ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran
dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan
kak???” jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju
yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau
begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju
pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak.
Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa…jadi baju
pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.
Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke
kamarnya.
“Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata
ratu.
“Ya ibu,” jawab putri.
“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan
menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai
ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat
menjadi ratu.”
“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat
bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati
dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan
tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu
adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa
padanya.”
“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.
Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk
menemaninya.
“Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana
aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau
dia tidak mencintaiku?”
“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin
gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda
mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak
tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati
untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga
yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung
dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok
istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman
istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu
adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi
dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan
tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan
dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon
istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut
ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa tuan?” tanya Anteh.
“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..”
Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh.
“Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.
“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata
Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan
Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah
yang jadi istriku.”
Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang
lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya,
Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu
menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat
calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma
yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya
yang akan dinikahinya.
Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana
lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh
dengan hormat.
“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja
kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di
hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai
Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari
perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati
pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu,
kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah
yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya,
Anteh menemui sang putri.
“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami
kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh.
Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata
Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh
cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga
tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri
Endahwarni.
“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah
begitu?” tanya Anteh kaget.
“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak
mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini.
Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”
“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?”
tangis Anteh.
“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau
Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena
dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar
Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh
saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan
permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju
kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia
berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.
Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa
yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke
kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu
beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam,
Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung
memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah
berumur menegurnya.
“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu
mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di
istana sebagai dayang?” tanya Anteh.
“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu
Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!”
kata Anteh dengan gembira.
“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?”
tanya paman Waru.
“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk
tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh
tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.
Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk
membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh
menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus,
orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh.
Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.
Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan
memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta
kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta
kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri
Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk
Anteh.
“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama
ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti
hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal
kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena
telah membuatmu gusar,” kata Anteh.
“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut
denganku kembali ke istana!” pinta putri.
“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga
bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab
Anteh.
“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke
istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat
sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”
Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri
Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal.
Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma,
suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan
gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit
kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak
memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.
Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman
istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh
sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing
kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah
berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat
pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!” tegurnya.
Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di
hadapannya.
“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada
orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.
“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh
tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga
hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah
suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau
menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk
Candramawat.
“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus
menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil
berusaha memegang tangan Anteh.
Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak
boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran
Anantakusuma tetap mengejarnya.
“Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba
kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat
sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak
hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke
atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya.
Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang
semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang
tertutup awan.
Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan
hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena
takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya
sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi
sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini
jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani
Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.
Legenda Ciung Wanara (Cerita rakyat Pasundan)
Syahdan, dahulu kala berdiri
sebuah Kerajaan di Tatar pasundan Jawa barat yang bernama kerajaan Galuh. Pada
masa itu raja yang memegang tampuk kepemimpinan bernama Raden Barma Wijaya
Kusumah. Sang raja memiliki dua orang permaisuri. Yang pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum
dan yang kedua bernama Nyimas Dewi Pangrenyep. Dan pada waktu itu kedua
permaisuri tersebut sedang dalam keadaan mengandung.
Hingga tibalah saat melahirkan,
Dewi pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Dari rahimnya lahirlah seorang bayi
laki-laki yang sangat lucu dan tampan, yang kemudian diberi nama Hariangbanga.
Tidak lama berselang tibalah saatnya Dewi Naganingrumpun melahirkan, pada saat
Dewi Naganingrum melahirkan yang bertindak sebagai bidan(Paraji_Sunda) adalah Dewi
Pangrenyep. Dari rahim Dewi Naganingrumpun lahirlah seorang bayi laki-laki yang
tak kalah lucu dan tampan.
Entah iblis apa yang merasuki
Dewi pangrenyep, ternyata dibalik kesediaannya dan kebaikannya mau membantu
menolong persalinan kepada Dewi Naganingrum itu terselip rencana jahat dan
sangat keji. Ternyata selama ini Dewi Pangrenyep tidak menginginkan seorang
istri pesaing bagi dirinya, karena jika ada permaisuri lain maka kelak takhta
kerajaan pun akan terbagi menjadi dua dan itu sangat tidak di inginkannya. Niat
busuknya sudah disusun dan disiapkan sejak lama, agar semua berjalan sesuai
dengan apa yang di inginkannya.
Pangrenyep ingin Dewi Nganingrum
terbuang dari Istana, terusir secara hina dan nista, dan terpisah jauh dari
anaknya, “...hhhmmmm rasakan bagaimana sakit dan pedihnya kau terpisah dari
anakmu dan terusir dari kerataon dengan hina...!”. Bisik hati jahat Pangrenyep, sambil terus
berusaha membantu proses persalinan Dewi Naganingrum, karena memang ini saat yang
ditunggu-tunggunya untuk melancarkan aksi jahat dan busuknya tersebut.
Tanpa
sepengetahuan Dewi Naganingrum, bayi laki-lakinya yang lucu dan tampan itu
telah ditukarnya dengan seekor anak anjing, sedangkan bayi yang sebenarnya
telah dimasukannya kedalam sebuah keranjang dengan disertakan sebutir telur
ayam, lalu bayi dalam keranjang itu dihanyutkannya kesungai Citanduy.
Sementara
dikeraton kerajaan telah terjadi kehebohan, kabar yang sangat-sangat mengejutkan
diluar dugaan semua orang yang ada dikeraton Galuh. Apalagi bagi seorang Raja
kabar ini adalah kabar yang telah menodai nama besarnya dan menghancurkan harga
dirinya sebagai raja. Bagaimana tidak Dewi Naganingrum yang selama ini
dicintainya dan di kasihinya telah melahirkan seekor anak anjing!!!. Sungguh
hina nista dan tercela !.
Dalam
keadaan murka Raja memanggil Ki Lengser (Penasehat raja), tetapi kali ini bukan
untuk meminta nasehat ! melainkan memerintahkan kepada Lengser agar Dewi
Naganingrum segera dibunuh dan dibuang mayatnya ke tempat yang jauh.”Aku tidak
mau tahu seperti apa dan bagaimana caranya! yang pasti bunuh Naganingrum keparat
itu dan buang mayatnya ditempat yang jauh tanpa diketahui oleh
siapapun!...mengerti???!”. Perintah Raden Barma Wijaya Kusumah dengan nada
membentak dan wajah yang merah padam. “Ba...bbaaaik...segera saya laksanakan
kanjeng Prabu!”. Ki Lengser tak punya pilihan dan tak ada waktu untuk mengajak
berbicara lebih tenang dan manusiawi kepada rajanya, tanpa pikir panjang Ki
Lengserpun segera pamitan dari hadapan rajanya untuk segera menjalankan
tugasnya. Dengan hati yang sangat pilu dan miris Ki Lengser tak bisa berbuat
banyak selain mengajak Dewi Naganingrum yang baru saja selesai melahirkan untuk
segera keluar meninggalkan istana Galuh.
Sepanjang
perjalanan Ki Lengser berpikir keras, untuk menyelamatkan nyawa Dewi Naganingrum,
karena dia yakin semua peristiwa yang terjadi adalah hasil rekayasa”Tidak
mungkin dan tidak masuk akal mana bisa manusia melahirkan binatang, apalagi
seekor anjing!”, gumamnya dalam hati. Walaupun perjalanan lama dan jauh
sepanjang jalan Ki Lengser tidak berani
mengajak berbicara kepada junjungannya, dia hanya diam dan terus menatap
lurus kedepan. Sementara Dewi Naganingrum yang berada dibelakang dalam sebuah
gerobak kayu yang tertutup, yang sangat tidak layak untuk di isi oleh seorang
permaisuri, sesampainya disebuah hutan belantara akhirnya ki Lengser berhenti. Dan
meminta Dewi Naganingrum untuk ikut turun.
Dibuatkannya
sebuah gubug untuk tempat tinggal bagi Dewi Naganingrum, dengan segala
kelengkapannya meski sangat sederhana. Walaupun dengan hati berat terpaksa Ki
Lengser harus segera meninggalkan junjungannya. Setelah dirasa cukup memberi
nasehat kepada Dewi Naganingrum Ki Lengser berjanji akam menengoknya walaupun
tidak bisa menjanjikan seberapa sering dan seberapa lama. Dewi Naganingrun
hanya bisa pasrah pada Sang Maha Pencipta, dengan segala yang sedang
menimpanya. Tidak mudah memang menerima dan menjalani sebuah peristiwa yang
tiba-tiba saja dan menyakitkan, kini dirinya harus terbuang dari Istana yang
megah yang serba mudah, dan sekarang harus berhadapan dengan kehidupan yang
benar-benar baru dan susah, sendirian tanpa seorang embanpun, jauh dari
khidupan ramai karena berada ditengah hutan belantara. Tetapi Dewi Naganingrum
tidak ingin hanyut dalam kesedihan yang panjang. Ia masih bisa bersyukur
memiliki seorang Lengser yang baik, yang mau menyelamatkan nyawanya. Dihatinya
penuh harap dan cita, suatu hari nanti ia akan bertemu dengan putranya yang
sebenarnya, dan bisa kembali hidup di Istana Galuh bersama keluarganya. Ki
Lengserpun pulang kembali ke keraton Galuh untuk melapor kepada raja bahwa
tugasnya membunuh Dewi Naganingrum telah diselesaikannya dengan baik. Dan untuk
buktinya Ki Lengser telah membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan di
hutan tadi. Sehingga nampak pada senjatanya garis-garis darah kering.
Lain
Dewi Naganingrum lain pula dengan Dewi Pangrenyep. Dia merasa suka cita dengan
usaha dan perbuatan jahatnya melenyapkan Dewi Naganingrum dari keraton, semua
berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui selain orang-orang kepercayaannya yang
telah terlibat pada rencana jahat tersebut. Semua yang terlibat bungkam dan
tutup mulut, mulut mereka telah penuh dijejali
dengan hadiah yang tiada terhingga dari Dewi Pangrenyep. Tidak akan ada yang
berani membocorkan rahasianya, selain telah dijejali dengan hadiah yang tiada
terhingga merekapun di ancam barang siapa yang berani buka mulut maka nyawa
akan menjadi bayarannya.
Sementara
ditempat lain, disebuah kampung yang bernama kampung Gegersunten hiduplah
sepasang suami istri yang sudah cukup tua. Tetapi mereka tidak memiliki anak
satu orangpun. Merekalah yang bernama Aki dan Nini Balangantrang. Suatu sore
keduamnya pergi kepinggiran kali Citanduy untuk menengok Babadon (perangkap
ikan) yang sudah mereka pasang sejak pagi buta. Alangkah terkejutnya mereka dan
sekaligus bahagia ketika sampai ditempat mereka memasang Babadon,karena disana
mereka menjumpai sebuah keranjang besar yang berisi seorang bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan,
mungkin inilah jawaban doa yang selama ini mereka panjatkan tanpa lelah. Dengan
segenap suka cita maka dibawanya bayi lucu dan tampan itu kerumah mereka dan
dirawatnya sepenuh cinta dan kasih layaknya mereka merawat anaknya sendiri.
Sedangkan sebutir telur ayam yang disertakan dengan bayi tersebut, telah
dikirimnya oleh Aki Balangantrang kepada se ekor naga yang bernama Nagawiru dan
bersemayam di gunung Padang. Naga ini bukanlah naga sembarangan melainkan
jelmaan seorang dewa, dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami sebutir telur
yang disertakan dengan bayi dari putra Barma Wijaya Kusumah. Yang kelak di kemudian
hari telur itu menetaskan seekor ayam jantan dan menjadi binatang piaraan serta
kesayangan dari si anak bayi yang dihanyutkan.
Waktu
terus berlalu, tanpa terasa bayi itu sudah tumbuh remaja kini, tampan dan elok
rupanya. Dengan penuh ketekunan dan ketelatenan Aki dan Nini Balangantrang
mewariskan semua ilmu kesaktian yang mereka miliki kepada anak angkatnya. Bahkan
Nagawiru sekalipun tidak tinggal diam dia sering mendatangi dan mengajarkan
segala ilmu kesaktian kepada pemuda tampan yang sampai sekarang belum diberi
nama oleh kedua orang tua angkatnya itu. Hingga pada suatu hari Aki
Balangantrang kembali mengajak putranya untuk berburu ke hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Sesampainya
di hutan anak angkat Aki Balangantrang ini melihat seekor monyet yang dia
anggap aneh karena baru melihatnya,”Ki kalau binatang itu apa namanya?” Aki
Balangantrang pun menjawab, “Wanara!”. Kemudian diapun melihat seekor burung
yang baru dijumpainya”kalau burung itu apa namanya Ki?”. Aki Balangantran
menjawab”itu namanya ciung!”. Remaja gagah dan tampan itu terdiam sesaat, lalu
menatap ayah angkatnya”Ki kalau mereka saja punya nama yang bagus, lalu mengapa
saya tidak?, bolehkah aku pakai nama keduanya sebagai namaku?”. Aki
Balangantrang terkesiap, baru disadarinya kalau anaknya itu belum punya nama
yang sebenarnya, selain nama panggilan anak laki-laki pada umumnya. Akhirnya
keduanya sepakat, nama dari kedua satwa itu digunakan sebagai nama anaknya.
Jadilah ia bernama Ciung Wanara. (bersambung)
Legenda Lancang Kuning
Hatta,bermula dari
sebuah kerajaan besar yang berpusat di Bukit Batu, Bengkalis. Kebesaran dan
kejayaan panji-panji kerajaan tersebut adalah berkat kerja keras serta
kejujuran dan kecintaannya kepada seluruh rakyat yang dipegang oleh Datuk
Laksamana Perkasa Alam yang dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yaitu
Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Seiring dengan
perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, dengan santun dan penuh hormat,
Panglima Umar menyampaikan isi hatinya kepada Datuk Laksamana Perkasa Alam
untuk menyunting Zubaidah, si bunga negeri. Sambil tersenyum, Datuk Laksamana
pun memberikan restu. Karena mengingat jasa-jasa Panglima Umar yang selama ini telah
mengabdikan dirinya pada kerajaan dengan segenap jiwa dan raganya. Maka Datuk
Laksamana bertekad akan menggelar perhelatan besar-besaran pada waktu
pernikahan tersebut. Diluar sepengetahuan Panglima Umar, sebenarnya sahabatnya
sendiri Panglima Hasan menaruh hati yang sama pada Zubaidah si bunga negri.
Otomatis kabar pernikahan dan perhelatan besar-besaran yang akan dilaksanakan
oleh Datuk Laksamana Alam Perkasapun menjadi pedang penoreh luka bagi Panglima
Hasan.
Bara dendam dan
kebencianpun menyala dan berkobar hebat didada Panglima Hasan. Akal sehatnya
telah terkalahkan dengan api cemburu dan kebencian. Siasat busuk pun langsung
disusun. Dengan licik, Panglima Hasan mendatangi rumah salah seorang bomoh
(dukun) kerajaan yang bernama Domo untuk menyampaikan mimpinya kepada Datuk
Laksamana agar membuat Lancang Kuning (perahu) untuk mengamankan seluruh
perairan.
Mengingat kerajaannya
memiliki perairan yang sedemikian luas, Datuk Laksamana pun langsung setuju dan
memerintahkan agar Lancang Kuning segera dibuat. Waktu terus saja berlalu,
menjelang Lancang Kuning usai dibuat, mendadak tersiar kabar bahwa Bathin
Sanggoro, melarang keras para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di wilayah
kekuasaannya di Tanjung Jati.
Datuk Laksmana pun
langsung memerintahkan Panglima Umar untuk mengecek kebenaran kabar tersebut.
Panglima Umar yang sebenarnya ingin mendampingi sang istri saat melahirkan anak
pertamanya, akhirnya dengan perasaan berat memutuskan untuk berangkat. Setelah
mengarungi lautan selama beberapa hari, akhirnya, Panglima Umar beserta pasukan
pilihannya menapakkan kaki mereka di Tanjung Jati. Ketika kabar itu ditanyakan kepada
Bathin Sanggoro, dengan cepat lelaki bertubuh kekar itu menyahut “Tak ada
niatan atau kata-kata terlontar yang menyatakan hamba aku melarang nelayan
Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati”.
Kata-kata itu membuat
Panglima Umar harus berpikir keras untuk mengurai makna yang terkandung di
dalamnya. Ketika akan pulang, Bathin Sanggoro pun berbisik; “Panglima, tolong
selidiki dari mana asal muasalnya berita tersebut”.
Dalam perjalanan
pulang, Panglima Umar langsung berkeliling untuk mencari si pembuat berita
bohong tersebut. Dan tak terasa, sebulan sudah ia dan pasukan pilihannya
melanglangbuana. Ketika malam purnama penuh, nun jauh di sana, semua penduduk
dan pemuka kerajaan Bukit Batu berbanjar dengan tertib di tepi laut untuk
menyaksikan peluncuran Lancang Kuning. Semua bergembira, kecuali, Zubaidah yang
dengan setia menanti suaminya yang belum juga kembali dari menunaikan tugasnya.
Sementara itu, beragam
keperluan yang berhubungan dengan peluncuran Lancang Kuning telah disiapkan
dengan saksama. Upacara yang dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang
Kuning yang dilakukan oleh Datuk Laksamana dan dilanjutkan oleh Panglima Hasan
lalu pengasapan akhirnya, semua yang hadir diminta untuk berdiri di samping
Lancang Kuning. Berbarengan dengan hingarnya bebunyian yang ditabuh, maka,
semua yang memegang dinding Lancang Kuning diminta untuk mendorongnya ke laut
lepas. Tetapi apa daya, walau dilkakukan berkali-kali, Lancang Kuning tak juga bergeming dari tempatnya.
Dengan muka merah
padam, Bomoh Domo datang bersembah pada Datuk Laksamana sambil berbisik;
“Ampunkan hamba tuanku, Lancang Kuning ternyata meminta korban perempuan hamil
sulung”. Setelah termenung beberapa saat, akhirnya, terdengar suara lantang
Datuk Laksamana “Peluncuran Lancang Kuning ditunda sampai datang waktu yang
tepat!”. Semua yang hadir, termasuk para pemuka kerajaan pun dengan tertib
kembali ke rumahnya masing-masing. Alih-alih kembali, Panglima Hasan yang sudah
dirasuk rindu dendam malahan menemui Zubaidah. Didapatinya Zubaidah sedang merenung,
terkejut dan langsung bertanya “Mengapa engkau kembali lagi Panglima Hasan?”
Bukannya menjawab,
Panglima Hasan malahan balik bertanya dan merayu Zubaidah “Apa yang kau tunggu
dan harapkan Zubaidah?, Panglima Umar tak mungkin pulang lagi!, biarkanlah aku
yang menjadi ayah dari anak yang tengah kau kandung itu!”.
Zubaidah pun marah dan
langsung menyergah “Cis … tak sudi aku menjadi istri dari seorang pengkhianat!”.
Panglima Hasan sontak marah dan mengancam Zubaidah “Jika engkau masih menolak,
maka tubuhmu akan aku jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke
laut!”, sahut Panglima Hasan tak kalah sengit sambil memberikan tanda kepada
beberapa
begundal setianya.
Apa daya tenaga
seorang wanita yang tengah hamil tua. Dengan mata tertutup, Panglima Hasan
langsung mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan memerintahkan
para begundalnya untuk mendorong perahu besar tersebut ke laut lepas. Ajaib!
meskipun hanya didorong oleh beberapa orang saja, Lancang Kuning berhasil masuk
ke laut lepas dengan meninggalkan tubuh Zubaidah yang luluh lantak berserakan
di tepian pantai.
Berbarengan dengan
lunas Lancang Kuning menyentuh air laut, cuaca yang semula terang benderang sontak berubah gelap. Hujan mendadak
turun bagaikan ditumpahkan dari langit disertai dengan kilatan petir yang
berlompatan sambar menyambar dan angin yang menderu menakutkan!.
Sementara itu, Panglima
Umar mulai merapat ke Pelabuhan Bukit Batu. Tanpa berlama-lama, Panglima Umar pun
segera melangkah pulang untuk menemui istrinya. Sesampainya di rumah Panglima
Umar tidak mendapati istrinya, rumah dalam kondisi kosong. Kerinduan yang sudah
membuncah didadanya gagal terlontarkan karena yang dirindu tak ditemuinya,
sesaat Panglima Umar berpikir dan menduga-duga kemana gerangan istrinya pergi. “Jangan-jangan
Zubaidah menantiku di pelabuhan”, demikian bisik hati Panglima Umar yang
langsung melangkah menuruti kata hatinya. Tak lama kemudian ia bertemu dengan
Panglima Hasan yang menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan gilingan
Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana. Dengan perasaan tak karuan dan tanpa
banyak bertanya lagi Panglima Umar langsung berlari ke tepian pantai yang
menjadi tempat peluncuran Lancang Kuning. Tubuhnya bergetar hebat!, segenap
gigi dan rahangnya bergemeretak menandakan emosi dan kemarahan yang tak dapat
tertahankan lagi, kedua
kepalan tangannya erat menggenggam, duka, sedih, amarah dan segala macam rasa
berkecamuk di otak dan pikirannya, saat melihat kenyataan istrinya tercinta
telah tewas dalam kondisi yanga sangat mengenaskan. Disapunya darah yang belum
sempat mengering ditanah dan di usapkan kewajahnya sambil berteriak dengan
lantang; “Aku akan membuat perhitungan pada Datuk Laksamana!”
Belum seberapa jauh
melangkah, Panglima Umar melihat Datuk Laksamana berjalan ke arahnya. Tanpa
banyak tanya, Panglima Umar yang sudah dirasuki dendam langsung menghujamkan
pedangnya ke perut Datuk Laksamana yang langsung tewas seketika. Pada helaan
napas yang ketiga, datang Pawang Domo yang menceritakan kejadian sebenarnya. Panglima Umar pun bergegas mencari musuhnya,
Panglima Hasan. Dari kejauhan, tampak Panglima Hasan telah bersiap-siap untuk
melarikan diri dengan menggunakan Lancang Kuning. Tetapi sayang, sebelum tali
tambat terlepas, Panglima Umar telah berhasil mendekati dan berteriak dengan
lantang sambil menghunus pedangnya “Malam ini, siapa di antara kita yang akan
mati dengan disaksikan oleh seluruh penduduk negeri!”.
Pertarungan sengitpun
terjadi, dengan segenap kemarahan dan dendam Panglima Umar menerjang Panglima
Hasan. Panglima Umar terus menyerang dengan ganas tanpa memberi kesempatan pada
musuhnya untuk dapat membalas serangannya. Hingga akhirnya Panglima Umar
berhasil membabatkan pedangnya kebagian perut dan dada Panglima Hasan darah
segarpun menyembur! Tubuh Panglima Hasan oleng tanpa dapat dikendalikan lagi. Perlahan,
tubuh itu mulai lunglai, berlutut dan akhirnya terjatuh ke laut lepas. Panglima
Umar tertegun sendirian di atas kapal
Lancang Kuning lalu ia berteriak dengan lantang:
“Aku tak mungkin
kembali ke Bukit Batu karena telah membunuh Datuk Laksamana akibat fitnah keji
yang telah dilakukan Panglima Hasan yang
juga baru saja kubunuh …! karena itu, aku akan pergi selama-lamanya dengan
menggunakan Lancang Kuning!”. Lancang Kuningpun mulai bergerak perlahan ke
tengah lautan terus bergerak hingga sampai ke Tanjung Jati.
Menurut tutur, ketika
sampai di Tanjung Jati, Lancang Kuning disapu oleh angin puting beliung hingga
karam. Panglima Umar dan Lancang Kuning terkubur di tengah laut, sementara,
kerajaan Bukit Batu pun mulai mundur dan akhirnya hilang ditelan Zaman.
Jumat, 18 April 2014
RUMAH KUNO (Cerita bersambung)
Pertemuan di pinggir danau
Hari Minggu yang cerah, Matahari pagi bersinar dengan cemerlang. Udara
begitu segar dan sangat menyenangkan diiringi suara burung bercicit ramai
menyambut pagi. Hari Minggu pertama kami menempati sebuah rumah kuno
peninggalan jaman Belanda dulu, yang tentu saja usianya sudah sangat tua, lebih
tua dari usia keluargaku sendiri. Tetapi rumah ini sangat terawat dan sangat
layak huni, halaman depan dan belakang sangat luas dan asri, apalagi lingkungan
tempat berdiri rumah ini masih berada dilingkungan pedesaan yang sangat sejuk.
Konon kabarnya rumah ini bekas tempat tinggal seorang pejabat pemerintahan di
jaman kolonial Belanda dulu. Penghuninya beberapa kali ganti karena rumah ini
adlah rumah dinas pada jamannya.
Disekitar rumah masih terhampar
luas perkebunan teh, pada sisi timur perkebunan ini ada sebuah danau kecil
buatan, sangat dekat lokasinya dengan hutan lindung yang sangat lebat dan asri.
Pemandangan disekitar danau sangat indah,
meskipun tidak terawatt dengan baik tetapi tempat itu masih sangat
menyenangkan untuk dipakai bersantai sekedar melepas lelah atau sengaja
berjalan-jalan untuk menikmati indahnya alam. Aku bersama keluarga sebenarnya
sudah lama menginginkan tinggal seperti
ini, apa lagi sejak Ayah pensiun dan aku juga sudah beres kuliah keinginan kami
untuk pindah tempat tinggal kepedesaan semakin kuat. Tetapi baru kali ini
terlaksana, itupun berkat jasa mang Jojo sopir pribadi Ayah yang memberitahukan
kalau dikampungnya ada satu rumah kuno yang mau dijual oleh pemiliknya. Entah
bagaimana awal ceritanya kalau rumah kuno peninggalan jaman Belanda ini menjadi
milik pribadi salahsatu penduduk kampung Cimeureun ini. Tidak penting bagi kami
yang pasti kami sudah memiliki dan menghuni tempat ini dan kami sangat
menyukainya.
Orang tuaku punya bisnis di kota, yang lebih dari cukup untuk menopang
kehidupan kami ditempat ini, bisnis yang sudah dijalankan sejak aku masih
kecil. Tak heran jika sekarang aku juga sudah tidak perlu susah payah tinggal
melanjutkan saja. Biasanya seminggu sekali aku ke kota sekedar untuk mengecek
perkembangan bisnis tersebut dan melakukan pertemuan singkat dengan para
karyawan dan orang-orang yang sudah menjadi kepercayaan ayah untuk mengelola
bisnisnya. Aku mungkin termasuk orang yang beruntung, selesai sekolah tidak
harus pusing tujuh keliling untuk urusan mencari kerja. Allhamduliilah aku
sangat bersyukur dengan kondisi ini.
Usai mandi pagi, aku segera bersiap daengan pakaian olahraga, aku
sudah tidak sabar ingin segera menikmati indahnya pagi. Setelah berpamitan pada
Ayah dan Ibuku akupun berlari-lari kecil menyusuri jalanan
pedesaan,”hmmmmm….segar sekali, sangat berbanding terbalik dengan lingkungan
perkotaan yang penuh sesak dengan bangunan tinggi dan pertokoan, ditamabah
macetnya jalanan dan hiruk pikuknya orang yang setiap hari sibuk dengan urusan
hidupnya masing-masing.
Aku sengaja mengambil jalan lewat belakang rumah karena lebih dekat
jaraknya untuk menuju ke danau kecil
dipinggir hutan lindung itu. Danau itu walaupun danau buatan bukan buatan jaman
sekarang tetapi sama buatan pada jaman Belanda juga, katanya dulu danau itu
difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik bagi desa Cimeureun ini. Sayang
sekarang sudah tidak berfungsi lagi.
Sesampainya disana, ah
kebetulan sekali sedang banyak orang yang berjalan-jalan dan ada beberapa orang
tua juga yang sedang asik memancing didanau ini. Aku berusaha seramah mungkin
setiap berpapasan dengan orang-orang disini. Semuanya ramah juga ternyata
membuat aku lebih mudah bersosialisasi. “Namanya saya Jati pak, lengkapnya Jati
Rama”, aku menyodorkan tangan saat bapak yang sedang asik memancing iru
menolehku dan menyapaku. Aku duduk jongkok disebelahnya, dan bapak inipun
memperkenalkan dirinya, namanya pak Sumarna, beliau asli orang kampung
Cimeureun. Usianya belum terlalu tua sebenarnya kalau aku taksir sekitar 43
atau 45 tahunan, tetapi karena pekerjaan sehari-harinya sebagai petani jadi ya
agak nampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Asik juga ternyata ikut mancing dengan pak Sumarna, sesekali beliau
bertanya tentang keluargaku dan satu pertanyaan yang aku rasa agak ganjil
keluar dari mulutnya”Dek Jati….kenapa mau membeli rumah kuno bekas Belanda itu,
apa tidak ada pilihan lain untuk dibeli dan di tempati?”, aku agak tercenung
mendengar pertanyaan itu,lalu akupun balik bertanya sama pak Sumarna”mmm….memang
kenapa pak dengan rumah Belanda itu?”. Yang ditanya balik hanya tersenyum mesem
saja sambil menjawab pendek”o…tidak apa-apa hanya Tanya saja”.
Hari mulai agak panas dan pak Sumarna mengajak aku untuk pindah
mencari lokasi yang lebih teduh untuk memancing. Aku menurut saja dan mengikuti
langkahnya menuju sisi barat yang ada sebuah pohon kayu rindang dan akarnya
menyembul kepermukaan tanah, sebagian lagi akarnya masuk ke danau kecil itu.
Air danau nampak bening dan jernih, beberapa tumbuhan air menghiasi pinggiran
danau dan ada segerombol teratai dengan bunganya yang putih bersih di bagian agak
tengan danau. Beberapa burung pemakan ikan berseliweran terjun ke air memburu
ikan-ikan kecil seperti yang berlomba menyelam.”Hmmmm…sayang aku lupa membawa
kamera…”aku berguman sendiri, sangat merasa menyesal tidak bisa mengabadikan
moment ini. Pak Sumarna nampaknya sudah mulai beres-beres peralatannya,”Sudah
mau pulang pak?” tanyaku.”Iya dek Jati sebentar lagi lohor(Dzuhur dalam istilah
Sunda), dan di tempat ini biasanya saat tengah hari sepi karena semua orang
akan kembali kerumah masing-masing”. Jelas pak Sumarna. Ada sesuatu yang
sebenarnya ingin pak Sumarna sampaikan padaku mengenai tempat ini, hanya saja
mungkin beliau tidak ingin dianggap orang percaya takhayul.”Pak kalau boleh
saya tahu memang kalau siang hari setelah lohor ada apa ditempat ini? Ada
pantangan apa maksud saya”. Aku menccoba menebak-nebak. Pak Sumarna hanya
tersenyum kecil sambil matanya menatap jauh ketengah danau. Kemudian beliau
memasukan semua ikan hasil pancingannya kedalam ember kecil dan beranjak hendak
pergi.”Dek Jati mau ikannya? Kalau mau kita bagi dua saja”. Aku Cuma geleng
kepala dan menucapkan terimakasih. Kenapa pak Sumarna malah mengalihkan
pertanyaanku. Aku semakin penasaran, akan aku tunggu sampai beberapa jam
kedepan sebenarnya ada apa ditempat ini, bathinku.”Dek Jati belum mau pulang?
Jangan lama-lama disini ya, apalagi sampai sore hari, sebaiknya kalau sudah
tidak ada orang disini segera pulang saja, inikan masih hutan khawatir ada
binatang buas”. Pak Sumarna mengingatkan ku. Akhirnya aku paham juga, iya
memang masih hutan disini, wajar saja kalau ada binatang buas.”Ah…aku saja yang
otak horror, kebanyakan menonton filem horror Jepang jadi begini”. Aku jadi
mengomeli diriku sendiri.
Setelah pak Sumarna pulang aku terus duduk dibawah pohon ini sambil
melempar-lempar kerikil kecil kepermukaan air danau. Bener juga, orang-orang
mulai sepi satu persatu pulang meninggalkan tepian danau ini. Padahal hari
masih siang, tengah hari bolong. Angin sepoi-sepoi meniup wajahku, menciptakan
suasana kantuk, dan akupun terkantuk-kantuk dibuatnya. Entah berapa lama aku
baru tersadar hari mulai beranjak sore, Matahari sudah teduh pertanda mulai
condong ke barat. Aku benar-benar ketiduran…!. Tanpa tengok kanan kiri aku
segera bangkit dan berlalu dari pinggir danau. Suasananya sangat sepi, sesekali
terdengan suara burung hutan seperti sedang menebang pohon”crung…crung…crung..!”
begitu suaranya. Air danau nampak beriak kecil dipermainkan tiupan angin,
sesekali ada lontaran kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan ikan. Aku terus
berjalan, tetapi ada keinginan seakan memaksaku untuk menengok kebelakang, ke tempat
dimana aku tadi duduk dengan pak Sumarna dan aku ketiduran disitu. Perlahan,
aku menengok kebelakang dan….”Agh…!!!” aku agak tersentak dan kaget,
karena…ditempat itu ada sesosok orang sedang duduk di akar pohon
besar itu, dia memunggungiku, aku berusaha menajamkan penglihatanku,”
tadi…tadi…disana tidak ada siapa-siapa, lalu….orang itu darimana datangnya dan
kapan???!!!”.Aku jadi bingung sendiri. Meskipun agak sedikit bingung dan takut
aku berusaha mengawasi orang itu, ternyata seorang pria tua, dengan pakaian
hitam dan celana hitam, rambutnya agak sedikit gondrog dan sudah memutih, dia
asik duduk sambil memainkan kedua kakinya dipermukaan air, suranya terdengar
kecipak kecipuk.
Rupanya dia merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba saja kepalanya
menoleh ke arah ku, dan….”Argghhh…matanya putih semua, seddangkan
kulit wajahnya seperti penuh dengan luka bakar!, sangat mengerikan, dia
menyeringai kepadaku!”. Jantungku rasanya mau berhenti, beberapa
langkah aku terjajar kebelakang saking kagetnya, dan tak ingin banyak berfikir
aku segera membalikan tubuhku dan berlari meninggalkan temapat itu. Sepanjang
jalan pikiranku terus terbayang pria tua itu atau lebih pantasnya disebut kakek
tua, dengan matanya yang putih dan kulit mukanya yang keriput dan terkelupas seperti
luka bakar.
Sesampainya dirumah, aku buru-buru masuk kamar mandi ingin menyegarkan
badan dan merifreh pikiran supaya bisa
lupa dengan bayangan kakek tua tadi. Usai mandi aku duduk diruangan tamu, Ayah
dan Ibuku sedang asik menonton acara
televisi. “jati seharian tadi kemana, jalan-jalan kok lama sekali, nyasar
kamu?” Ayah melirik ke arahku sambil bertanya setengah meledek. Ibu juga ikut
menimpali”Nyasar… pasti ke rumah gadis desa….!”. kedua orang tuaku malahan asik
meledek aku yang masih terus berpikir dengan sosok kakek tua itu. Akhirnya aku
mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuaku kalau aku tadi bermain ketepian
danau dipinggir hutan lindung dan bertemu dengan kakek tua yang menyeramkan
itu. Ayah dan ibuku malahan tertawa dan terus meledek aku, katanya aku ini
kebanyakan menonton filem horror Jepang, ya akhirnya begitu, sedikit-sedikit
hantu.
Aku cuma bisa cemberut saja tidak ingin menimpali ledekan Ayah dan
Ibuku. Lapar juga ternyata. Aku menggeloyor ke meja makan dan menyantap makanan
yang sudah disiapkan Ibu, Si Lintar loncat kepangkuanku, dia menggesek-gesekan
kepalanya keperutku. Lintar adalah kucing kesayanganku, bulunya tebal berwarna
abu, hidungnya pesek sekali hampir sejajar dengan jidatnya, kupingnya lebar dan
pendek, sedangkan ekornya sangat besar ditumbuhi bulunya yang lebat seperti
sebuah kamoceng.
Dia selalu saja menemaniku makan sesekali dia suka menggigit-gigit
lenganku yang sedang asik menyuap makanan, dikiranya aku sedang mengajaknya
bercanda. Selesai makan aku malas pindah tempat duduk sambil memainkan kepala
Lintar aku mencoba melupakan bayangan kakek tua yang menakutkan itu, sulit
sekali seolah-olah bayangan kakek itu terus menempel dimemori otakku.
Hari menjelang magrib, bi Cucum menyalakan lampu ruangan, dan mang
Adar suaminya sedang menutup-nutup pintu.”Dar pintu halam depan jangan dulu di
kunci, saya ada keperluan kerumah pak RW sehabis magrib!” terdengar suara Ayah
mengingatkan mang Adar.”Iya siap pak!” jawab mang Adar dari teras halaman
depan. “Den Jati..kok masih duduk di situ sih, biasanya segera berwudhu kalau
menjelang magrib, ayo sana wudhu dulu sebentar lagi adzan magrib!” bi Cucum
menegurku yang masih bermalasan dikursi sambil memeluk Lintar dipangkuan.
Tiba-tiba saja seperti ada angin masuk keruangan tempat aku duduk lampu diatas
meja makanpun agak bergoyang sedikit keras ayunannya, sekelebat seperti ada
bayangan orang masuk dan tercium bau yang tidak sedap seperti bau sampah
busuk.”Miowwww….!!!!” Lintar tiba-tiba saja lomcat dari pangkuanku dan menubruk
gelas bekas aku minum diatas meja, “PRANK!!!!” gelas jatuh dan beberapa piring
kecil ikut terjatuh pecah dilantai. Lintar lari ke pojiok ruangan, badannya
ditekuk dan bulunya merinding seperti ketakutan, lampu ruangan berkedip cepat
beberapa saat seperti mau mati. Aku dan bi Cucum saling pandang tanpa terucap
sepatah katapun…..
Mimpi yang berulang
Malam tanpa terasa terus merayap, menyelimuti alam beserta pengisinya.
Udara yang dingin memaksaku untuk bergulung didalam selimut tebal. Lintar yang
biasanya ikut tidur disampingku kini malahan tidak mau diam terus saja
mengeong, sesekali dia mencakar-cakar kearah depan tanpa jelas apa yang
dicakarnya, kadang dia tiba-tiba lompat kebelakang punggungku dan bersembunyi
rapat, nafasnya terdengar seperti orang ngorok, sampai suatu saat dia melompat
lagi sambil mengeong keras seperti ketakutan. Agak kesal aku melihatnya karena
jadi mengganggu tidur.”Lintar diam kenapa kamu ini? Aku bangun dan mengambil
Lintar lalu aku keluar kamar dengan niat memasuka Lintar kedalam kandangnya,
berisik sekali kucing ini, tidak biasanya dia begitu. Kandang Lintar terletak
disamping dapur. Agak jauh dari kamar
tidurku harus melalui ruangan keluarga dan agak berbelok kekanan.
Lampu ruangan sudah diganti dengan lampu kecil, cahanya agak muram.
Ayah dan Ibuku juga sudah lelap, tidak jauh beda dengan mang Adar dan bi Cucum.
Pasti mereka sudah tertidur, suara jam besar yang terletak di sudut ruangan
terdengar dengan jelas, membuat suasana ruangan jadi agak sedikit seram. Aku
berusaha fokus untuk tidak memikirkan hal-hal aneh dan menakutkan. Kejadian
tadi magrib ah, sudahlah hanya sedikit angin yang mengejutkan. Aku terus
melangkah menuju keruangan belakang rumah, Lintar diam dalam gendonganku.
Sesampainya dipintu yang menuju kearah dapur dan kandangnya Lintar, tiba-tiba
saja pintu terbuka sendiri pelan-pelan mengeluarkan suara menderit, ughhh…aku
agak kaget dan menahan nafas, belum selesai rasa kagetku secara mendadak pintu
terbanting keras dan menutup kembali! Agggghhhhh….!” Aku tidak bisa menahan suaraku
dan berteriak agak keras. Lintar aku dekap kuat dan kucing kesayanganku itu
jadi gelisah dalam gendonganku.
Suasana menjadi hening kembali hanya suara jangkrik dan binatang malam
diluar bersahutan. Aneh suara pintu terbanting begitu keras tetapi penghuni
rumah yang lain tetap nyenyak tidur seolah tek terusik sedikitpun. Sebenarnya
aku merasa agak takut dan merinding, tetapi tak membuat urung niatku, sesegera
mungkin aku masuk keruangan dimana kandang lintar ditempatkan dan akupun segra
berbalik meninggalkannya untuk kembali kekamarku. Begitu sampai aku didepan
pintu kamarku, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki diseret, entah
dimana”sreet…sreeet…” suara itu kembali terdengar. Reflek aku menyentuh tombol lampu
ruangan, agar terang benderang. Dan suara itupun hilang. Jam sudah menunjukan
dini hari,ah sudahlah aku mau tidur!. Secepatnya aku masuk kamar dan menggulung
tubuh dengan selimut tebal. Perlahan tapi pasti, aku mulai masuk kea lam tidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja aku kembali terbangun
mendengar suara Lintar mengeong-ngeong keras dan….ah…bagaimana caranya dia bisa
keluar sendiri dan melewati dua pintu ? Lintar sudah berada dikamarku! dia
terus mengeong keras dan tidak mau diam! Aku duduk sambil menahan rasa kantuk
yang masih menggayuti kelopak mata. “Lintar…kenapa sih kamu? diam hey!” Aku
mulai kesal dengan kucing kesayanganku itu, tapi kucing itu tetap saja dengan
ulahnya. Lampu dikamarku mendadak berkedip cepat seperti mau putus, lalu
menyala lagi dengan sangat terang dan terus begitu sampai beberapa kali, aku
mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, aku bangkit dari duduk maksud mau
membuka pintu kamarku agar tidak terlalu seram, tapi…tiba-tiba saja lemari
pakaianku yang berhadapan dengan tempat tidurku bergetar keras! Seperti
diguncang-guncangkan! Aku terkesiap kaget bercampur rasa takut, bulu roma
ditubuhku merinding semua inginnya berteriak memanggil Ayah dan Ibuku, tetapi
suaraku seperti hilang begitu saja! lampu kamarku kian mengecil
cahayanya….diluar dugaanku dari pintu lemari itu muncul sepasang tangan keriput
kering seperti bekas terbakar menggapai-gapai ke arahku disertai suara nafas
berat dan parau…tangan itu semakin mendekat ke tubuhku, keringat dingin
mengalir deras aku berusaha untuk berdoa…tetapi salah terus dan bibirku seperti
terkunci!!!....AAAAAAAGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!, akhirnya aku bisa berteriak keras !
BUGH! Tubuhku terbanting kelantai, lampu kamarku kembali terang benderang
seperti biasa. Punggungku terasa sakit bekas terbanting tadi. Lintar kucingku
tidak ada diruangan kamar, “kemana dia???”. Pintu kamarku masih tertutup rapat
dan lemari itu….masih tetap tegak ditempatnya.” Mimpikah ini” aku bergumam
sendiri, perlahan aku bangkit dan menghampiri meja tempat aku meletakan televisi.
Aku nyalakan untuk membuang rasa takut dan kaget tadi. Sudah hampir jam empat
pagi ternyata, sebentar lagi subuh. Di luar sana terdengar suara bi Cucum
sedang mengaji, dan sayup-sayup mang Adar sedang wirid. Ah….lega rasanya, sudah
ada yang bangun dirumah ini.
Tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk dari luar,”ya…siapa???” tanyaku
dari dalam. Bi Cucum rupanya menghantarkan minuman hangat buatku. “Tumben kok
nonton TV sepagi ini?” Tanya bi Cucum kepadaku. “Iya bi susah tidur nih,
terbangun terus, makasih minumannya bi”, jawabku. Bi Cucum memang sealu begitu
kalau mendengar aku sudah bangun jam berapapu pasti akan membuatkan aku minum,
terkadang suka menawarkan camilan juga biar gak bengong katanya.
Perasaanku mulai lega, aku segera pergi kekamar mandi mau berendam air
hangat biar sehabis solat subuh aku bisa tertidur lelap. Biar saja urusan
nengok kantor Ayah agak siang saja nanti berangkatnya, tidak akan nyaman nyetir
sambil ngantuk.
Menjelang pagi akupun tertidur lelap sekali, balas dendam dengan tidur
semalam yang terganggu oleh mimpi yang menakutkan itu. Sekitar jam sepuluh pagi
aku baru berangkat ke kota.(BERSAMBUNG............)
Langganan:
Postingan (Atom)