Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan
bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki
panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan
raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita
dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu
lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya
kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah
calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang
dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal
saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri
Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak
remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.
“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua
denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli
satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama,
maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu
akan aku hukum!”
“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa
membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu
seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil
tersenyum.
“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti
ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran
dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan
kak???” jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju
yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau
begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju
pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak.
Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa…jadi baju
pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.
Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke
kamarnya.
“Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata
ratu.
“Ya ibu,” jawab putri.
“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan
menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai
ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat
menjadi ratu.”
“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat
bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati
dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan
tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu
adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa
padanya.”
“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.
Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk
menemaninya.
“Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana
aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau
dia tidak mencintaiku?”
“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin
gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda
mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak
tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati
untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga
yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung
dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok
istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman
istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu
adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi
dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan
tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan
dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon
istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut
ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa tuan?” tanya Anteh.
“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..”
Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh.
“Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.
“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata
Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan
Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah
yang jadi istriku.”
Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang
lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya,
Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu
menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat
calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma
yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya
yang akan dinikahinya.
Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana
lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh
dengan hormat.
“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja
kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di
hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai
Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari
perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati
pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu,
kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah
yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.
Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya,
Anteh menemui sang putri.
“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami
kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh.
Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata
Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh
cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga
tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri
Endahwarni.
“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah
begitu?” tanya Anteh kaget.
“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak
mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini.
Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”
“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?”
tangis Anteh.
“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau
Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena
dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar
Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh
saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan
permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju
kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia
berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.
Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa
yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke
kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu
beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam,
Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung
memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah
berumur menegurnya.
“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu
mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di
istana sebagai dayang?” tanya Anteh.
“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu
Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!”
kata Anteh dengan gembira.
“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?”
tanya paman Waru.
“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk
tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh
tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.
Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk
membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh
menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus,
orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh.
Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.
Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan
memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta
kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta
kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri
Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk
Anteh.
“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama
ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti
hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal
kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena
telah membuatmu gusar,” kata Anteh.
“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut
denganku kembali ke istana!” pinta putri.
“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga
bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab
Anteh.
“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke
istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat
sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”
Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri
Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal.
Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma,
suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan
gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit
kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak
memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.
Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman
istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh
sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing
kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah
berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat
pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!” tegurnya.
Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di
hadapannya.
“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada
orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.
“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh
tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga
hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah
suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau
menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk
Candramawat.
“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus
menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil
berusaha memegang tangan Anteh.
Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak
boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.
Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran
Anantakusuma tetap mengejarnya.
“Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba
kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat
sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak
hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke
atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya.
Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang
semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang
tertutup awan.
Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan
hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena
takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya
sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi
sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini
jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani
Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar