Hari Minggu yang cerah, Matahari pagi bersinar dengan cemerlang. Udara
begitu segar dan sangat menyenangkan diiringi suara burung bercicit ramai
menyambut pagi. Hari Minggu pertama kami menempati sebuah rumah kuno
peninggalan jaman Belanda dulu, yang tentu saja usianya sudah sangat tua, lebih
tua dari usia keluargaku sendiri. Tetapi rumah ini sangat terawat dan sangat
layak huni, halaman depan dan belakang sangat luas dan asri, apalagi lingkungan
tempat berdiri rumah ini masih berada dilingkungan pedesaan yang sangat sejuk.
Konon kabarnya rumah ini bekas tempat tinggal seorang pejabat pemerintahan di
jaman kolonial Belanda dulu. Penghuninya beberapa kali ganti karena rumah ini
adlah rumah dinas pada jamannya.
Disekitar rumah masih terhampar
luas perkebunan teh, pada sisi timur perkebunan ini ada sebuah danau kecil
buatan, sangat dekat lokasinya dengan hutan lindung yang sangat lebat dan asri.
Pemandangan disekitar danau sangat indah,
meskipun tidak terawatt dengan baik tetapi tempat itu masih sangat
menyenangkan untuk dipakai bersantai sekedar melepas lelah atau sengaja
berjalan-jalan untuk menikmati indahnya alam. Aku bersama keluarga sebenarnya
sudah lama menginginkan tinggal seperti
ini, apa lagi sejak Ayah pensiun dan aku juga sudah beres kuliah keinginan kami
untuk pindah tempat tinggal kepedesaan semakin kuat. Tetapi baru kali ini
terlaksana, itupun berkat jasa mang Jojo sopir pribadi Ayah yang memberitahukan
kalau dikampungnya ada satu rumah kuno yang mau dijual oleh pemiliknya. Entah
bagaimana awal ceritanya kalau rumah kuno peninggalan jaman Belanda ini menjadi
milik pribadi salahsatu penduduk kampung Cimeureun ini. Tidak penting bagi kami
yang pasti kami sudah memiliki dan menghuni tempat ini dan kami sangat
menyukainya.
Orang tuaku punya bisnis di kota, yang lebih dari cukup untuk menopang
kehidupan kami ditempat ini, bisnis yang sudah dijalankan sejak aku masih
kecil. Tak heran jika sekarang aku juga sudah tidak perlu susah payah tinggal
melanjutkan saja. Biasanya seminggu sekali aku ke kota sekedar untuk mengecek
perkembangan bisnis tersebut dan melakukan pertemuan singkat dengan para
karyawan dan orang-orang yang sudah menjadi kepercayaan ayah untuk mengelola
bisnisnya. Aku mungkin termasuk orang yang beruntung, selesai sekolah tidak
harus pusing tujuh keliling untuk urusan mencari kerja. Allhamduliilah aku
sangat bersyukur dengan kondisi ini.
Usai mandi pagi, aku segera bersiap daengan pakaian olahraga, aku
sudah tidak sabar ingin segera menikmati indahnya pagi. Setelah berpamitan pada
Ayah dan Ibuku akupun berlari-lari kecil menyusuri jalanan
pedesaan,”hmmmmm….segar sekali, sangat berbanding terbalik dengan lingkungan
perkotaan yang penuh sesak dengan bangunan tinggi dan pertokoan, ditamabah
macetnya jalanan dan hiruk pikuknya orang yang setiap hari sibuk dengan urusan
hidupnya masing-masing.
Aku sengaja mengambil jalan lewat belakang rumah karena lebih dekat
jaraknya untuk menuju ke danau kecil
dipinggir hutan lindung itu. Danau itu walaupun danau buatan bukan buatan jaman
sekarang tetapi sama buatan pada jaman Belanda juga, katanya dulu danau itu
difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik bagi desa Cimeureun ini. Sayang
sekarang sudah tidak berfungsi lagi.
Sesampainya disana, ah
kebetulan sekali sedang banyak orang yang berjalan-jalan dan ada beberapa orang
tua juga yang sedang asik memancing didanau ini. Aku berusaha seramah mungkin
setiap berpapasan dengan orang-orang disini. Semuanya ramah juga ternyata
membuat aku lebih mudah bersosialisasi. “Namanya saya Jati pak, lengkapnya Jati
Rama”, aku menyodorkan tangan saat bapak yang sedang asik memancing iru
menolehku dan menyapaku. Aku duduk jongkok disebelahnya, dan bapak inipun
memperkenalkan dirinya, namanya pak Sumarna, beliau asli orang kampung
Cimeureun. Usianya belum terlalu tua sebenarnya kalau aku taksir sekitar 43
atau 45 tahunan, tetapi karena pekerjaan sehari-harinya sebagai petani jadi ya
agak nampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Asik juga ternyata ikut mancing dengan pak Sumarna, sesekali beliau
bertanya tentang keluargaku dan satu pertanyaan yang aku rasa agak ganjil
keluar dari mulutnya”Dek Jati….kenapa mau membeli rumah kuno bekas Belanda itu,
apa tidak ada pilihan lain untuk dibeli dan di tempati?”, aku agak tercenung
mendengar pertanyaan itu,lalu akupun balik bertanya sama pak Sumarna”mmm….memang
kenapa pak dengan rumah Belanda itu?”. Yang ditanya balik hanya tersenyum mesem
saja sambil menjawab pendek”o…tidak apa-apa hanya Tanya saja”.
Hari mulai agak panas dan pak Sumarna mengajak aku untuk pindah
mencari lokasi yang lebih teduh untuk memancing. Aku menurut saja dan mengikuti
langkahnya menuju sisi barat yang ada sebuah pohon kayu rindang dan akarnya
menyembul kepermukaan tanah, sebagian lagi akarnya masuk ke danau kecil itu.
Air danau nampak bening dan jernih, beberapa tumbuhan air menghiasi pinggiran
danau dan ada segerombol teratai dengan bunganya yang putih bersih di bagian agak
tengan danau. Beberapa burung pemakan ikan berseliweran terjun ke air memburu
ikan-ikan kecil seperti yang berlomba menyelam.”Hmmmm…sayang aku lupa membawa
kamera…”aku berguman sendiri, sangat merasa menyesal tidak bisa mengabadikan
moment ini. Pak Sumarna nampaknya sudah mulai beres-beres peralatannya,”Sudah
mau pulang pak?” tanyaku.”Iya dek Jati sebentar lagi lohor(Dzuhur dalam istilah
Sunda), dan di tempat ini biasanya saat tengah hari sepi karena semua orang
akan kembali kerumah masing-masing”. Jelas pak Sumarna. Ada sesuatu yang
sebenarnya ingin pak Sumarna sampaikan padaku mengenai tempat ini, hanya saja
mungkin beliau tidak ingin dianggap orang percaya takhayul.”Pak kalau boleh
saya tahu memang kalau siang hari setelah lohor ada apa ditempat ini? Ada
pantangan apa maksud saya”. Aku menccoba menebak-nebak. Pak Sumarna hanya
tersenyum kecil sambil matanya menatap jauh ketengah danau. Kemudian beliau
memasukan semua ikan hasil pancingannya kedalam ember kecil dan beranjak hendak
pergi.”Dek Jati mau ikannya? Kalau mau kita bagi dua saja”. Aku Cuma geleng
kepala dan menucapkan terimakasih. Kenapa pak Sumarna malah mengalihkan
pertanyaanku. Aku semakin penasaran, akan aku tunggu sampai beberapa jam
kedepan sebenarnya ada apa ditempat ini, bathinku.”Dek Jati belum mau pulang?
Jangan lama-lama disini ya, apalagi sampai sore hari, sebaiknya kalau sudah
tidak ada orang disini segera pulang saja, inikan masih hutan khawatir ada
binatang buas”. Pak Sumarna mengingatkan ku. Akhirnya aku paham juga, iya
memang masih hutan disini, wajar saja kalau ada binatang buas.”Ah…aku saja yang
otak horror, kebanyakan menonton filem horror Jepang jadi begini”. Aku jadi
mengomeli diriku sendiri.
Setelah pak Sumarna pulang aku terus duduk dibawah pohon ini sambil
melempar-lempar kerikil kecil kepermukaan air danau. Bener juga, orang-orang
mulai sepi satu persatu pulang meninggalkan tepian danau ini. Padahal hari
masih siang, tengah hari bolong. Angin sepoi-sepoi meniup wajahku, menciptakan
suasana kantuk, dan akupun terkantuk-kantuk dibuatnya. Entah berapa lama aku
baru tersadar hari mulai beranjak sore, Matahari sudah teduh pertanda mulai
condong ke barat. Aku benar-benar ketiduran…!. Tanpa tengok kanan kiri aku
segera bangkit dan berlalu dari pinggir danau. Suasananya sangat sepi, sesekali
terdengan suara burung hutan seperti sedang menebang pohon”crung…crung…crung..!”
begitu suaranya. Air danau nampak beriak kecil dipermainkan tiupan angin,
sesekali ada lontaran kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan ikan. Aku terus
berjalan, tetapi ada keinginan seakan memaksaku untuk menengok kebelakang, ke tempat
dimana aku tadi duduk dengan pak Sumarna dan aku ketiduran disitu. Perlahan,
aku menengok kebelakang dan….”Agh…!!!” aku agak tersentak dan kaget,
karena…ditempat itu ada sesosok orang sedang duduk di akar pohon
besar itu, dia memunggungiku, aku berusaha menajamkan penglihatanku,”
tadi…tadi…disana tidak ada siapa-siapa, lalu….orang itu darimana datangnya dan
kapan???!!!”.Aku jadi bingung sendiri. Meskipun agak sedikit bingung dan takut
aku berusaha mengawasi orang itu, ternyata seorang pria tua, dengan pakaian
hitam dan celana hitam, rambutnya agak sedikit gondrog dan sudah memutih, dia
asik duduk sambil memainkan kedua kakinya dipermukaan air, suranya terdengar
kecipak kecipuk.
Rupanya dia merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba saja kepalanya
menoleh ke arah ku, dan….”Argghhh…matanya putih semua, seddangkan
kulit wajahnya seperti penuh dengan luka bakar!, sangat mengerikan, dia
menyeringai kepadaku!”. Jantungku rasanya mau berhenti, beberapa
langkah aku terjajar kebelakang saking kagetnya, dan tak ingin banyak berfikir
aku segera membalikan tubuhku dan berlari meninggalkan temapat itu. Sepanjang
jalan pikiranku terus terbayang pria tua itu atau lebih pantasnya disebut kakek
tua, dengan matanya yang putih dan kulit mukanya yang keriput dan terkelupas seperti
luka bakar.
Sesampainya dirumah, aku buru-buru masuk kamar mandi ingin menyegarkan
badan dan merifreh pikiran supaya bisa
lupa dengan bayangan kakek tua tadi. Usai mandi aku duduk diruangan tamu, Ayah
dan Ibuku sedang asik menonton acara
televisi. “jati seharian tadi kemana, jalan-jalan kok lama sekali, nyasar
kamu?” Ayah melirik ke arahku sambil bertanya setengah meledek. Ibu juga ikut
menimpali”Nyasar… pasti ke rumah gadis desa….!”. kedua orang tuaku malahan asik
meledek aku yang masih terus berpikir dengan sosok kakek tua itu. Akhirnya aku
mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuaku kalau aku tadi bermain ketepian
danau dipinggir hutan lindung dan bertemu dengan kakek tua yang menyeramkan
itu. Ayah dan ibuku malahan tertawa dan terus meledek aku, katanya aku ini
kebanyakan menonton filem horror Jepang, ya akhirnya begitu, sedikit-sedikit
hantu.
Aku cuma bisa cemberut saja tidak ingin menimpali ledekan Ayah dan
Ibuku. Lapar juga ternyata. Aku menggeloyor ke meja makan dan menyantap makanan
yang sudah disiapkan Ibu, Si Lintar loncat kepangkuanku, dia menggesek-gesekan
kepalanya keperutku. Lintar adalah kucing kesayanganku, bulunya tebal berwarna
abu, hidungnya pesek sekali hampir sejajar dengan jidatnya, kupingnya lebar dan
pendek, sedangkan ekornya sangat besar ditumbuhi bulunya yang lebat seperti
sebuah kamoceng.
Dia selalu saja menemaniku makan sesekali dia suka menggigit-gigit
lenganku yang sedang asik menyuap makanan, dikiranya aku sedang mengajaknya
bercanda. Selesai makan aku malas pindah tempat duduk sambil memainkan kepala
Lintar aku mencoba melupakan bayangan kakek tua yang menakutkan itu, sulit
sekali seolah-olah bayangan kakek itu terus menempel dimemori otakku.
Hari menjelang magrib, bi Cucum menyalakan lampu ruangan, dan mang
Adar suaminya sedang menutup-nutup pintu.”Dar pintu halam depan jangan dulu di
kunci, saya ada keperluan kerumah pak RW sehabis magrib!” terdengar suara Ayah
mengingatkan mang Adar.”Iya siap pak!” jawab mang Adar dari teras halaman
depan. “Den Jati..kok masih duduk di situ sih, biasanya segera berwudhu kalau
menjelang magrib, ayo sana wudhu dulu sebentar lagi adzan magrib!” bi Cucum
menegurku yang masih bermalasan dikursi sambil memeluk Lintar dipangkuan.
Tiba-tiba saja seperti ada angin masuk keruangan tempat aku duduk lampu diatas
meja makanpun agak bergoyang sedikit keras ayunannya, sekelebat seperti ada
bayangan orang masuk dan tercium bau yang tidak sedap seperti bau sampah
busuk.”Miowwww….!!!!” Lintar tiba-tiba saja lomcat dari pangkuanku dan menubruk
gelas bekas aku minum diatas meja, “PRANK!!!!” gelas jatuh dan beberapa piring
kecil ikut terjatuh pecah dilantai. Lintar lari ke pojiok ruangan, badannya
ditekuk dan bulunya merinding seperti ketakutan, lampu ruangan berkedip cepat
beberapa saat seperti mau mati. Aku dan bi Cucum saling pandang tanpa terucap
sepatah katapun…..
Malam tanpa terasa terus merayap, menyelimuti alam beserta pengisinya.
Udara yang dingin memaksaku untuk bergulung didalam selimut tebal. Lintar yang
biasanya ikut tidur disampingku kini malahan tidak mau diam terus saja
mengeong, sesekali dia mencakar-cakar kearah depan tanpa jelas apa yang
dicakarnya, kadang dia tiba-tiba lompat kebelakang punggungku dan bersembunyi
rapat, nafasnya terdengar seperti orang ngorok, sampai suatu saat dia melompat
lagi sambil mengeong keras seperti ketakutan. Agak kesal aku melihatnya karena
jadi mengganggu tidur.”Lintar diam kenapa kamu ini? Aku bangun dan mengambil
Lintar lalu aku keluar kamar dengan niat memasuka Lintar kedalam kandangnya,
berisik sekali kucing ini, tidak biasanya dia begitu. Kandang Lintar terletak
disamping dapur. Agak jauh dari kamar
tidurku harus melalui ruangan keluarga dan agak berbelok kekanan.
Lampu ruangan sudah diganti dengan lampu kecil, cahanya agak muram.
Ayah dan Ibuku juga sudah lelap, tidak jauh beda dengan mang Adar dan bi Cucum.
Pasti mereka sudah tertidur, suara jam besar yang terletak di sudut ruangan
terdengar dengan jelas, membuat suasana ruangan jadi agak sedikit seram. Aku
berusaha fokus untuk tidak memikirkan hal-hal aneh dan menakutkan. Kejadian
tadi magrib ah, sudahlah hanya sedikit angin yang mengejutkan. Aku terus
melangkah menuju keruangan belakang rumah, Lintar diam dalam gendonganku.
Sesampainya dipintu yang menuju kearah dapur dan kandangnya Lintar, tiba-tiba
saja pintu terbuka sendiri pelan-pelan mengeluarkan suara menderit, ughhh…aku
agak kaget dan menahan nafas, belum selesai rasa kagetku secara mendadak pintu
terbanting keras dan menutup kembali! Agggghhhhh….!” Aku tidak bisa menahan suaraku
dan berteriak agak keras. Lintar aku dekap kuat dan kucing kesayanganku itu
jadi gelisah dalam gendonganku.
Suasana menjadi hening kembali hanya suara jangkrik dan binatang malam
diluar bersahutan. Aneh suara pintu terbanting begitu keras tetapi penghuni
rumah yang lain tetap nyenyak tidur seolah tek terusik sedikitpun. Sebenarnya
aku merasa agak takut dan merinding, tetapi tak membuat urung niatku, sesegera
mungkin aku masuk keruangan dimana kandang lintar ditempatkan dan akupun segra
berbalik meninggalkannya untuk kembali kekamarku. Begitu sampai aku didepan
pintu kamarku, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki diseret, entah
dimana”sreet…sreeet…” suara itu kembali terdengar. Reflek aku menyentuh tombol lampu
ruangan, agar terang benderang. Dan suara itupun hilang. Jam sudah menunjukan
dini hari,ah sudahlah aku mau tidur!. Secepatnya aku masuk kamar dan menggulung
tubuh dengan selimut tebal. Perlahan tapi pasti, aku mulai masuk kea lam tidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja aku kembali terbangun
mendengar suara Lintar mengeong-ngeong keras dan….ah…bagaimana caranya dia bisa
keluar sendiri dan melewati dua pintu ? Lintar sudah berada dikamarku! dia
terus mengeong keras dan tidak mau diam! Aku duduk sambil menahan rasa kantuk
yang masih menggayuti kelopak mata. “Lintar…kenapa sih kamu? diam hey!” Aku
mulai kesal dengan kucing kesayanganku itu, tapi kucing itu tetap saja dengan
ulahnya. Lampu dikamarku mendadak berkedip cepat seperti mau putus, lalu
menyala lagi dengan sangat terang dan terus begitu sampai beberapa kali, aku
mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, aku bangkit dari duduk maksud mau
membuka pintu kamarku agar tidak terlalu seram, tapi…tiba-tiba saja lemari
pakaianku yang berhadapan dengan tempat tidurku bergetar keras! Seperti
diguncang-guncangkan! Aku terkesiap kaget bercampur rasa takut, bulu roma
ditubuhku merinding semua inginnya berteriak memanggil Ayah dan Ibuku, tetapi
suaraku seperti hilang begitu saja! lampu kamarku kian mengecil
cahayanya….diluar dugaanku dari pintu lemari itu muncul sepasang tangan keriput
kering seperti bekas terbakar menggapai-gapai ke arahku disertai suara nafas
berat dan parau…tangan itu semakin mendekat ke tubuhku, keringat dingin
mengalir deras aku berusaha untuk berdoa…tetapi salah terus dan bibirku seperti
terkunci!!!....AAAAAAAGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!, akhirnya aku bisa berteriak keras !
BUGH! Tubuhku terbanting kelantai, lampu kamarku kembali terang benderang
seperti biasa. Punggungku terasa sakit bekas terbanting tadi. Lintar kucingku
tidak ada diruangan kamar, “kemana dia???”. Pintu kamarku masih tertutup rapat
dan lemari itu….masih tetap tegak ditempatnya.” Mimpikah ini” aku bergumam
sendiri, perlahan aku bangkit dan menghampiri meja tempat aku meletakan televisi.
Aku nyalakan untuk membuang rasa takut dan kaget tadi. Sudah hampir jam empat
pagi ternyata, sebentar lagi subuh. Di luar sana terdengar suara bi Cucum
sedang mengaji, dan sayup-sayup mang Adar sedang wirid. Ah….lega rasanya, sudah
ada yang bangun dirumah ini.
Tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk dari luar,”ya…siapa???” tanyaku
dari dalam. Bi Cucum rupanya menghantarkan minuman hangat buatku. “Tumben kok
nonton TV sepagi ini?” Tanya bi Cucum kepadaku. “Iya bi susah tidur nih,
terbangun terus, makasih minumannya bi”, jawabku. Bi Cucum memang sealu begitu
kalau mendengar aku sudah bangun jam berapapu pasti akan membuatkan aku minum,
terkadang suka menawarkan camilan juga biar gak bengong katanya.
Perasaanku mulai lega, aku segera pergi kekamar mandi mau berendam air
hangat biar sehabis solat subuh aku bisa tertidur lelap. Biar saja urusan
nengok kantor Ayah agak siang saja nanti berangkatnya, tidak akan nyaman nyetir
sambil ngantuk.
Menjelang pagi akupun tertidur lelap sekali, balas dendam dengan tidur
semalam yang terganggu oleh mimpi yang menakutkan itu. Sekitar jam sepuluh pagi
aku baru berangkat ke kota.(BERSAMBUNG............)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar