Hatta,bermula dari
sebuah kerajaan besar yang berpusat di Bukit Batu, Bengkalis. Kebesaran dan
kejayaan panji-panji kerajaan tersebut adalah berkat kerja keras serta
kejujuran dan kecintaannya kepada seluruh rakyat yang dipegang oleh Datuk
Laksamana Perkasa Alam yang dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yaitu
Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Seiring dengan
perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, dengan santun dan penuh hormat,
Panglima Umar menyampaikan isi hatinya kepada Datuk Laksamana Perkasa Alam
untuk menyunting Zubaidah, si bunga negeri. Sambil tersenyum, Datuk Laksamana
pun memberikan restu. Karena mengingat jasa-jasa Panglima Umar yang selama ini telah
mengabdikan dirinya pada kerajaan dengan segenap jiwa dan raganya. Maka Datuk
Laksamana bertekad akan menggelar perhelatan besar-besaran pada waktu
pernikahan tersebut. Diluar sepengetahuan Panglima Umar, sebenarnya sahabatnya
sendiri Panglima Hasan menaruh hati yang sama pada Zubaidah si bunga negri.
Otomatis kabar pernikahan dan perhelatan besar-besaran yang akan dilaksanakan
oleh Datuk Laksamana Alam Perkasapun menjadi pedang penoreh luka bagi Panglima
Hasan.
Bara dendam dan
kebencianpun menyala dan berkobar hebat didada Panglima Hasan. Akal sehatnya
telah terkalahkan dengan api cemburu dan kebencian. Siasat busuk pun langsung
disusun. Dengan licik, Panglima Hasan mendatangi rumah salah seorang bomoh
(dukun) kerajaan yang bernama Domo untuk menyampaikan mimpinya kepada Datuk
Laksamana agar membuat Lancang Kuning (perahu) untuk mengamankan seluruh
perairan.
Mengingat kerajaannya
memiliki perairan yang sedemikian luas, Datuk Laksamana pun langsung setuju dan
memerintahkan agar Lancang Kuning segera dibuat. Waktu terus saja berlalu,
menjelang Lancang Kuning usai dibuat, mendadak tersiar kabar bahwa Bathin
Sanggoro, melarang keras para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di wilayah
kekuasaannya di Tanjung Jati.
Datuk Laksmana pun
langsung memerintahkan Panglima Umar untuk mengecek kebenaran kabar tersebut.
Panglima Umar yang sebenarnya ingin mendampingi sang istri saat melahirkan anak
pertamanya, akhirnya dengan perasaan berat memutuskan untuk berangkat. Setelah
mengarungi lautan selama beberapa hari, akhirnya, Panglima Umar beserta pasukan
pilihannya menapakkan kaki mereka di Tanjung Jati. Ketika kabar itu ditanyakan kepada
Bathin Sanggoro, dengan cepat lelaki bertubuh kekar itu menyahut “Tak ada
niatan atau kata-kata terlontar yang menyatakan hamba aku melarang nelayan
Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati”.
Kata-kata itu membuat
Panglima Umar harus berpikir keras untuk mengurai makna yang terkandung di
dalamnya. Ketika akan pulang, Bathin Sanggoro pun berbisik; “Panglima, tolong
selidiki dari mana asal muasalnya berita tersebut”.
Dalam perjalanan
pulang, Panglima Umar langsung berkeliling untuk mencari si pembuat berita
bohong tersebut. Dan tak terasa, sebulan sudah ia dan pasukan pilihannya
melanglangbuana. Ketika malam purnama penuh, nun jauh di sana, semua penduduk
dan pemuka kerajaan Bukit Batu berbanjar dengan tertib di tepi laut untuk
menyaksikan peluncuran Lancang Kuning. Semua bergembira, kecuali, Zubaidah yang
dengan setia menanti suaminya yang belum juga kembali dari menunaikan tugasnya.
Sementara itu, beragam
keperluan yang berhubungan dengan peluncuran Lancang Kuning telah disiapkan
dengan saksama. Upacara yang dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang
Kuning yang dilakukan oleh Datuk Laksamana dan dilanjutkan oleh Panglima Hasan
lalu pengasapan akhirnya, semua yang hadir diminta untuk berdiri di samping
Lancang Kuning. Berbarengan dengan hingarnya bebunyian yang ditabuh, maka,
semua yang memegang dinding Lancang Kuning diminta untuk mendorongnya ke laut
lepas. Tetapi apa daya, walau dilkakukan berkali-kali, Lancang Kuning tak juga bergeming dari tempatnya.
Dengan muka merah
padam, Bomoh Domo datang bersembah pada Datuk Laksamana sambil berbisik;
“Ampunkan hamba tuanku, Lancang Kuning ternyata meminta korban perempuan hamil
sulung”. Setelah termenung beberapa saat, akhirnya, terdengar suara lantang
Datuk Laksamana “Peluncuran Lancang Kuning ditunda sampai datang waktu yang
tepat!”. Semua yang hadir, termasuk para pemuka kerajaan pun dengan tertib
kembali ke rumahnya masing-masing. Alih-alih kembali, Panglima Hasan yang sudah
dirasuk rindu dendam malahan menemui Zubaidah. Didapatinya Zubaidah sedang merenung,
terkejut dan langsung bertanya “Mengapa engkau kembali lagi Panglima Hasan?”
Bukannya menjawab,
Panglima Hasan malahan balik bertanya dan merayu Zubaidah “Apa yang kau tunggu
dan harapkan Zubaidah?, Panglima Umar tak mungkin pulang lagi!, biarkanlah aku
yang menjadi ayah dari anak yang tengah kau kandung itu!”.
Zubaidah pun marah dan
langsung menyergah “Cis … tak sudi aku menjadi istri dari seorang pengkhianat!”.
Panglima Hasan sontak marah dan mengancam Zubaidah “Jika engkau masih menolak,
maka tubuhmu akan aku jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke
laut!”, sahut Panglima Hasan tak kalah sengit sambil memberikan tanda kepada
beberapa
begundal setianya.
Apa daya tenaga
seorang wanita yang tengah hamil tua. Dengan mata tertutup, Panglima Hasan
langsung mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan memerintahkan
para begundalnya untuk mendorong perahu besar tersebut ke laut lepas. Ajaib!
meskipun hanya didorong oleh beberapa orang saja, Lancang Kuning berhasil masuk
ke laut lepas dengan meninggalkan tubuh Zubaidah yang luluh lantak berserakan
di tepian pantai.
Berbarengan dengan
lunas Lancang Kuning menyentuh air laut, cuaca yang semula terang benderang sontak berubah gelap. Hujan mendadak
turun bagaikan ditumpahkan dari langit disertai dengan kilatan petir yang
berlompatan sambar menyambar dan angin yang menderu menakutkan!.
Sementara itu, Panglima
Umar mulai merapat ke Pelabuhan Bukit Batu. Tanpa berlama-lama, Panglima Umar pun
segera melangkah pulang untuk menemui istrinya. Sesampainya di rumah Panglima
Umar tidak mendapati istrinya, rumah dalam kondisi kosong. Kerinduan yang sudah
membuncah didadanya gagal terlontarkan karena yang dirindu tak ditemuinya,
sesaat Panglima Umar berpikir dan menduga-duga kemana gerangan istrinya pergi. “Jangan-jangan
Zubaidah menantiku di pelabuhan”, demikian bisik hati Panglima Umar yang
langsung melangkah menuruti kata hatinya. Tak lama kemudian ia bertemu dengan
Panglima Hasan yang menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan gilingan
Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana. Dengan perasaan tak karuan dan tanpa
banyak bertanya lagi Panglima Umar langsung berlari ke tepian pantai yang
menjadi tempat peluncuran Lancang Kuning. Tubuhnya bergetar hebat!, segenap
gigi dan rahangnya bergemeretak menandakan emosi dan kemarahan yang tak dapat
tertahankan lagi, kedua
kepalan tangannya erat menggenggam, duka, sedih, amarah dan segala macam rasa
berkecamuk di otak dan pikirannya, saat melihat kenyataan istrinya tercinta
telah tewas dalam kondisi yanga sangat mengenaskan. Disapunya darah yang belum
sempat mengering ditanah dan di usapkan kewajahnya sambil berteriak dengan
lantang; “Aku akan membuat perhitungan pada Datuk Laksamana!”
Belum seberapa jauh
melangkah, Panglima Umar melihat Datuk Laksamana berjalan ke arahnya. Tanpa
banyak tanya, Panglima Umar yang sudah dirasuki dendam langsung menghujamkan
pedangnya ke perut Datuk Laksamana yang langsung tewas seketika. Pada helaan
napas yang ketiga, datang Pawang Domo yang menceritakan kejadian sebenarnya. Panglima Umar pun bergegas mencari musuhnya,
Panglima Hasan. Dari kejauhan, tampak Panglima Hasan telah bersiap-siap untuk
melarikan diri dengan menggunakan Lancang Kuning. Tetapi sayang, sebelum tali
tambat terlepas, Panglima Umar telah berhasil mendekati dan berteriak dengan
lantang sambil menghunus pedangnya “Malam ini, siapa di antara kita yang akan
mati dengan disaksikan oleh seluruh penduduk negeri!”.
Pertarungan sengitpun
terjadi, dengan segenap kemarahan dan dendam Panglima Umar menerjang Panglima
Hasan. Panglima Umar terus menyerang dengan ganas tanpa memberi kesempatan pada
musuhnya untuk dapat membalas serangannya. Hingga akhirnya Panglima Umar
berhasil membabatkan pedangnya kebagian perut dan dada Panglima Hasan darah
segarpun menyembur! Tubuh Panglima Hasan oleng tanpa dapat dikendalikan lagi. Perlahan,
tubuh itu mulai lunglai, berlutut dan akhirnya terjatuh ke laut lepas. Panglima
Umar tertegun sendirian di atas kapal
Lancang Kuning lalu ia berteriak dengan lantang:
“Aku tak mungkin
kembali ke Bukit Batu karena telah membunuh Datuk Laksamana akibat fitnah keji
yang telah dilakukan Panglima Hasan yang
juga baru saja kubunuh …! karena itu, aku akan pergi selama-lamanya dengan
menggunakan Lancang Kuning!”. Lancang Kuningpun mulai bergerak perlahan ke
tengah lautan terus bergerak hingga sampai ke Tanjung Jati.
Menurut tutur, ketika
sampai di Tanjung Jati, Lancang Kuning disapu oleh angin puting beliung hingga
karam. Panglima Umar dan Lancang Kuning terkubur di tengah laut, sementara,
kerajaan Bukit Batu pun mulai mundur dan akhirnya hilang ditelan Zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar