Matahari mulai memerah, kala senja menjemput
teriknya siang, saat yang dinanti bagi semua orag Islam yang sedang berpuasa
akan segera tiba. Dikaki langit sebelah barat burung-burung kecil berterbangan
diantara kemilau senja, Nampak seperti siluet
yang bergerak kian kemari. Kumandang adzan magribpun tiba. Semua orang
yang berpuasa Ramadhan bergembira setelah seharian menahan haus, lapar dan
dahaga.
Begitupun Susana disebuah pondok pesantren
sederhana, para santri nya sedang ramai berbuka puasa, ta’jil dengan hidangan
manis sederhana hasil olahan dari Ambu dan Abah pemilik pondok. Yang setiap
hari selalu berusaha menyediakan makanan gratis untuk para santrinya berbuka
puasa.
Dipondok Al –
Hidayah itu kurang lebih ada 60 orang santri, rata- rata mereka masih berusia
antara 8 sampai 14 tahun. Abah dan Ambu sengaja membuat pondok ini untuk
menampung anak-anak kurang mampu dan yatim piatu. Hanya saja dari 60 orang anak
yang ada hanya ada dua orang saja yang benar-benar yatim piatu, dan mereka
berdua memiliki keterbatasan secara lahiriah. Sabarudin adalah
salahsatunya, usianya 12 tahun, Sabar tidak bisa lancar dalam
berbicara atau biasa orang katakan gagu, cukup sulit untuk bisa berkomunikasi
dengan Sabarudin, karena suaranya sukar sekali untuk dipahami. Sedangkan satu
orang lagi bernama Abdullah, usianya terpaut 2 tahun dari Sabarudin. Abdullah
baru berusia 10 tahaun, dan Allah SWT memberikan cobaan baginya dengan
kekurangan pada penglihatannya. Subhanallah keduanya bersahabat dekat, karena
mungkin mereka merasa punya kesamaan nasib.
Selesai shalat
magrib, abah mengajak para santrinya berkumpul, “ Asalamualaikum….anak-anak apa
kabar hari ini, puasanya lancar ?”. Serentak semuanya menjawab salam Abah
bersamaan. “Alaikum salam…allhamdulillah…”. Abah kemudian melanjutkan
kata-katanya “anak-anakku, tak terasa Iedul Fitri tinggal 2 hari lagi,
Allhamdulillah kita diberi kemampuan untuk menjalankan ibadah puasa wajib
dengan lancar dan sehat wal afiat. Abah hanya mau mengingatkan saja, bagi kalian
yang mau pulang kampung menjumpai sanak saudara dan keluarga, boleh pulang
mualai besok. Persiapkan semua perbekalan dan barang-barang kalian yang hendak
kalian bawa pulang ya. Selamat Iedul Fitri….mohon maaf lahir dan batin, semoga
semua a’mal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin.” Panjang lebar Abah
menyampaikan pesannya. Anak-anak santri bergembira mendengar apa yang sudah
Abah sampaikan, sambil menyaksikan kegembiraan para santrinya Abah berkeliling
dari satu bangku ke bangku lainnya ditemani Ambu, sambil membagikan amplop berwarna hijau, yang
biasanya berisi hadiah uang tunai untuk bekal para santri pulang kerumah
masing-masing.
Diantara kegembiraan
itu ada dua wajah yang terdiam tanpa ekspresi, Sabar dan Abdul. Ada rasa yang
sama didalam hati mereka berdua, mereka ingin pulang bertemu keluarga. Seperti
anak-anak santri yang lainnya. Tapi hendak pulang kemana. Ayah ibu mereka sudah
tadak punya, bahkan sanak saudara dari keluarga merekapun, mereka tidak tahu
ada dimana. Mereka tinggal bersama Abah dan Ambu sejak mereka kecil. Yang ada
di ingatan mereka, dulu…dulu sekali
mereka di bawa oleh tangan halus dan lembut Abah dan Ambu dari sebuah tempat
yang sudah tidak bisa mereka gunakan lagi untuk tempat tinggal. Tempat yang
jauh dan katanya saat itu tempatnya runtuh karena sebuah bencana.
Tangan
Sabarurin bergetar saat menerima sebuah amplop berwarna hijau, bibir bawahnya
di gigit matanya yang menatap wajah Abah yang teduh, hanya sebuah suara yang
tak jelas keluar dari kerongkongannya sebagai ucapan terimakasih. Digenggamnya
amplop hijau itu erat sekali. Matanya jauh menerawang menembus alam
khayalan entah tempat dan rumah apa yang
ada dipikirannya. Ada bilur bening bergerak dari sudut matanya disertai
suaranya yang parau dan tak jelas, entah mengatakan apa. Abdullah….ya hanya
Abdullah yang sangat paham dengan maksud dan arti dari suara Sabar. Perlahan
Abdullah bergeser duduknya, mendekati kawan karibnya. Tangan Abdullah menggapai perlahan mencoba meraih pundak
Sabarudin. Abdullah tahu kawannya sedang sedih, sedang merindukan keluarga,
ayah , ibu dan kampung halaman.”Sabar….seperti namamu, kita harus sabar, kita
yatim piatu tidak punya siapa-siapa selain Allah SWT dan Abah serta Ambu yang
mengurus dan menyayangi kita”. Anak umur sepuluh tahun itu sangat dewasa dan
bijaksana dengan kata-katanya. Sabar mengangguk perlahan, namun rasa sedihnya
tak bisa ditahan. Airmatanya mengalir . Dipeluknya Abdullah erat – erat dengan
suara tangis yang ditahan.
Suasana jadi
hening, Abah datang menghampiri mereka berdua, yang lainnya diam tanpa kata,
hanya terdengar desah nafas dari masing-masing orang yang ada di ruangan itu.
Abah menenangkan keduanya sampil mengelus kepala kedua anak itu, didekapnya
kedua anak itu dengan penuh kasih sayang.
Selesai Adzan
subuh, semua anak-anak berpamitan untuk pulang mudik kekeluarganya
masing-masing. Pondok menjadi hening, barak tempat tidur santripun sepi.
Tinggal dua orang bocah saja. Abdullah asik
dengan kebiasaannya menganyam daun nipah untuk dijadikan kantong.
Meskipun penglihatannya cacat Abdulah sangat pandai dengan pekerjaan seperti
itu, lalu dia berdiri, tangannya berusaha menggapai dinding menuju halaman,
langkahnya terus menuju halaman, sesaat
dia menengok kebelakang berharap Sabarudinn mengikutinya.”Sab…ayo kita ke
halaman aku mau merasakan hangatnya matahari…!” Abdulah setengah berteriak,
menyadarkan Sabarudin dari lamunannya. Keduanya berjalan menuju halaman, dengan
penuh kasih sayang Sabarudin menuntun tangan Abdulah dengan sabar membawanya
jalan-jalan menelusuri halaman pondok yang mulai sepi.
“A…aa…eeeuuuu..”
Sabaudin mengajak Abdulah berbicara. Yang diajak bicara tetap lurus
pandangannya tetapi dia paham benar apa
yg dimaksud kawannya.” Sab begini saja, kita menghadap Abah minta ijin untuk
mudik ke kampong dimana kita dulu pernah tinggal, Abah pasti mau
menunjukannya”. Sabarudin menganggukan kepalanya, kemudian keduanya berjalan
menuju rumah Abah.
“Sebenarnya Abah
berat dan khawatir melepaskan kalian pulang kampung apalagi tidak ada keluarga
yang kalian tuju, tapi ya sudahlah abah yakin Allah SWT tahu dengan keinginan
kalian berangkatlah ke Ci Sewu dimana kalian dulu dilahirkan, berlebaran disana
datangi saja Masjid Arrahman disana ada Ustadz Komar nanti berikan surat ini,
kalian jangan terlalu lama disana ya.”
Abah matanya berkaca-kaca begitupun dengan Ambu. Selepas Isya keduanya
Berangkat menuju Terminal terdekat.
“Bang tiketnya
dua untuk ke cisewu….” Abdullah memesan tiket.” Aduh sayang nak…tiketnya sudah
habis terjual dan yang tadi adalah bis terakhir, kenapa mendadak belinya ?”.
Penjaga tiket geleng-geleng kepala. Dengan langkah yang letih keduanya berjalan
menuju bangku tunggu penumpang dipinggir terminal. Keduanya tak lepas saling
pegang erat seolah takut kehilangan satu dengan lainnya. Keduanya berfikir
keras untuk bisa berangkat ke kampong tujuan.”A….aku tahu kita ke stasiun
kereta saja, siapa tahu ada kereta yang bisa kita tumpangi !”. Tanpa pikir
panjang Abdul mengajak Sabar untuk berangkat ke Stasiun, lumayan agak jauh
jaraknya. Keduanya berdiri di pinggir jalan raya menunggu angkutan menuju
stasiun, hujan gerimis tiba-tiba, Sabar mengacungkan jarinya menyetop sebuah
taxi, maklum anak-anak, tidak tawar menawar mereka langsung minta diantar ke
stasiun. “ Sudah sampai ni…ayo turun” Abang taxi mengingatkan keduanya. “Berapa
ongkosnya bang ?” Tanya Abdul.”50 ribu” jawab si abang taxi.”Haaaa….mahal
sekali bang…kami anak yatim mau pulang kampung, abang bisa kurangi gak
ongkosnya ?” Abdullah menawar sambil memelas. Abang taksi diam sebentar.
Diamatinya wajah Abdullah yang polos kedua bola matanya tidak bergerak, lalu
tangan si Abang digerak gerakan didepan mata Abdul. “De…” suara si abang
lirih…”ya bang…” jawab Abdul. “Kalian mau pulang kemana ?” Tanya Abang taxi
lagi. “Kami mau pulang ke Cisewu bang, mau ke masjid Arrahman…” jawab Abdul.
Sesaat abang taxi teridam, “ kenapa pulangnya ke masjid bukan kerumah…???”.
Abdullah terdiam…Sabarpun hanya menunduk. “Kami sudah tidak punya keluarga
bang…tapiii…kami ingin merasakan pulang kampung, dimana kami dulu dilahirkan,
Abah guru kami dipondok mengijinkan kami untuk pulang dan menemui ustadz
disana”. Suara Abdul menjadi serak menahan rasa sedih, rindu untuk bertemu ibu dan
ayahnya abdul pun tak sanggup lagi menahan tangisnya, pilu terdengar sedu sedan
akan sebuah kerinduan. Abang taxi pun ikut menitikan air mata, dipeluknya dua
anak itu. Dan diapun berjanji akan mengantar jemput mereka tanpa harus bayar.
Malam berjalan dibawah gerimis taxi itupun melaju mengantarkan dua kawan
senasib. Disertai gembira dan rasa pilu menjadi satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar