Kabut
dikaki gunung mulai menebal, udara dingin musim kemarau terasa mendesak seluruh
tubuh, kalau saja tidak biasa hidup dikaki gunung pasti sudah menggigil. Angin
senja mulai bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan disekitar lembah itu. Sinar
sang surya perlahan memerah ditepi kaki langit sebelah barat.
Widharma
sedang bersiap-siap turun ke kampung setelah selesai mencari rumput untuk pakan
ternak peliharaannya. Sudah menjadi pekerjaannya setiap hari, selesai
mengontrol sawah dan kolam ikannya, dia akan melanjutkan mengontrol kebun dan
mencari rumput. Letak kebunnya cukup jauh dari kampun berjarak sekitar empat
kilometer berada di punggung gunung. Kebun sewaan dari Perum Perhutani
setempat.Biasanya anak semata wayangnya suka ikut kemanapun Widharma pergi,
terkecuali saat sekolah. Anaknya laki-laki baru berumur delapan tahun kelas dua
SD. Dana namanya,semenjak ditinggal ibunya pergi bekerja jadi TKW ke Arab Saudi
Dana banyak berubah agak bandel dan susah sekali diatur. Terkadang untuk urusan
mandi saja harus dikejar-kejar ayahnya. Yang lebih kasihan lagi anak ini jadi
susah makan bukan tidak ada makanan tetapi sulit sekali diajak makan seolah
nafsu makannya hilang entah kemana. Badannya kurus, Widharma sudah mencoba
berbagai cara agar anaknya mau makan dengan normal seperti dulu saat ibunya
masih ada disampingnya.
Pikulan
penuh rumput hijau dan segar berayun seiring dengan langkah Whidharma menyusuri
jalan setapak yang menurun menuju perkampungan. Keringatnya mengalir membasahi
wajah dan tubuhnya.Meskipun saat berpuasa Widharma tidak menjadi malas untuk
melakukan pekerjaan rutinnya setiap hari. Sambil berjalan tak terasa pikirannya
jauh menerawang kemasa-masa lalu saat masih berkumpul dengan istrinya, tak
terasa sudah tiga tahun dirinya hidup tanpa kehadiran istrinya. Hanya telpon
dan sms saja yang dia terima sebagai teman rindunya, dan setiap bulan menerima
kiriman uang dari Arab Saudi hasil kerja istrinya. Dengan uang itulah Widharma
memperbaiki rumah dan mengolah sawah serta segalanya. Allhamdulillah semuanya
manfaat tidak ada uang yang terbuang percuma.
Tanpa
terasa sudah sampai dibelakang rumah, disamping kandang sapi perah
peliharaannya. Diletakan pikulan penuh rumput sambil menarik nafas panjang dia
duduk dibangku kayu dibawah pohon jeruk yang ada di dekat pintu menuju dapur.
Buahnya sedang ranum sesaat lagi siap dipanen.
“Dharma…!!!”
terdengar suara ibunya memanggil namanya dari jauh, sedikit agak malas karena
rasa cape, diapun bangkit dari duduknya menuju rumah ibunya yang hannya
terhalang batas halaman saja dengan pagar perdu.”Dharma tuh lihat anak kamu si
Dana dari tadi diajak pulang gak mau malahan diam saja dipinggir tanggul
sungai, padahal sudah tidak ada temannya yang bermain disana, belum mandi sore
lagi. Haduuuuhhhhh….ema mah suka pusing lihatnya susah
pisan(sekali_sunda)diaturnya anak kamu mah”. Ibunya nyerocos tanpa memberi
kesempatan untuk bicara. Tanpa banyak pikir Widharma segera pergi ketanggul
sungai mencari Dana anaknya.
Benar
saja sesampainya disana, anaknya sedang duduk dipinggiran tanggul entah apa
yang sedang dipikirkannya, wajah polosnya Nampak murung. Rambutnya kecoklatan
terbakar matahari. Disampingnya tergeletak gulungan benang bekas main
layang-layang. Dihampirinya dengan penuh kasih sayang.”Sedang apa nak…pulang
yu…sudah sore” sapa Widharma kepada anaknya. Dana menatap wajah ayahnya, mata
beningnya Nampak layu seperti lelah. Ada air menggenang dibola mata itu,
bibirnya bergetar seperti ada yang ingin di ucapkan tetapi tidak terucap hanya
tangisan terisak, Dana memeluk ayahnya.”sssssttttt….cup…cup…ada apa nak kita
bicara nanti dirumah ya…” Whidarma menggendong anaknya dalam pangkuan. Tak
perduli badan anaknya yang mulai tinggi hingga kakinya menjuntai saat
digendong.
Sesampainya
dirumah Widharma memasak air untuk mandi anaknya dan dirinya sendiri, berharap
dengan mandi air hangat pikiran mereka berdua bisa lebih tenang dan segar.
Sebenarnya Widharma tahu benar dengan apa yang terjadi pada anaknya, karena
sudah beberapa kali merajuk seperti itu. Hanya saja terkadang Widharma bingung
harus memberi alasan apa lagi saat anaknya merajuk merindukan ibunya.
Menjanjikan kepulangan ibunya...? nanti anaknya akan tambah merajuk karena
sudah sering dijanjikan seperti itu, sedang ibunya tak kunjung datang.
Selesai
mandi widharma menyalakan lampu rumah, hari mulai masuk ke magrib sambil
berbuka puasa hari terakhir Widharma menyuapi anaknya. Allhamdulillah puasa
tuntas sebulan penuh.”Pak…kalau ibu kapan pulangnya…besok lebaran pak…”
tiba–tiba Dana menanyakan lagi kepulangan ibunya. Widharma menghela nafas
dalam.”Sabar nak ibumu belum bisa pulang, bapak juga ingin berkumpul dengan ibu
seperti halnya kamu, apa lagi saat lebaran seperti ini”. Suara Widharma
terdengar berat menahan perasaan sedih yang bergejolak di dadanya. Dipeluknya
Dana dengan sepenuh rasa, ada air mata yang memaksa menetes dari sudut matanya.
Air mata kerinduan yang tak
terbataskan.Hanya karena satu alasan saja “ingin hidup layak” Tarliah istrinya
tidak bisa dilarang tetap memaksakan pergi untuk bekerja di Arab Saudi. Masih
terngiang di telinganya kata-kata terakhir saat mau berangkat”saya mau buktikan
sama tetangga kalau saya juga bias hidup layak dengan usaha dan tenaga saya,
meskipun saya punya suami miskin”.Air mata Widharma semakin deras menetes,
suara takbiran dari mesjid semakin menyayat hatinya.” Andai saja aku bias
memberi harta yang cukup mungin istriku tidak akan pergi sejauh itu demi
mencari harta” Widharma mengutuki dirinya, ”andai saja kamu bisa menerima
suamimu apa adanya, hidup sederhana, mungkin kita tak akan berpisah jauh...lihatlah
anakmu merindukanmu... tanpa aku tahu harus berbuat apa, pulanglah Tarliah...aku
dan anakmu merindukanmu” Semakin erat pelukannya. Anak dan bapak menangis
bersama diantara gema suara takbir menjelang lebaran besok hari. Diluar hujan
gerimis disertai angin, seolah ingin melarutkan kesedihan diantara bongkahan
kerinduan.
Selamat
Iedul Fitri Widharma. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar