Translate

Minggu, 25 Agustus 2013

LEGENDA SELAT SUNDA

Syahdan pada zaman dahulu kala, berdirilah sebuah kerajaan.Yang dipimpin oleh seorang raja adil dan bijaksana bernama Prabu Rakata. Beliau mempunyai dua orang putra, yang paling sulung bernama Raden Sundana dan adiknya bernama Raden Tapabaruna. Pada masa itu pulau Jawa dan Sumatra masih bersatu. Suatu hari sang prabu memanggil kedua putranya, beliau menyampaikan niatnya untuk mulai menyepi bertapa brata. Karena usianya mulai beranjak tua dan kedua putra sudah cukup umur untuk diangkat menjadi raja.
Akhirnya sang prabu membagi kedua wilayah kerajaannya kepada kedua putranya, agar tidak ada yang merasa di anak tirikan atau dianggap lebih baik. Dan kedua putranyapun menerima keputusan ayahandanya dengan senang hati.
Raden Sundana mendapat bagian kerajaan kearah timur sedangkan adiknya Raden Tapabaruna mendapat bagian kearah barat. Sang prabupun berangkat setelah menyelesaikan pembagian wilayah kekuasaan kerajaannya kepada kedua putranya.
Tidak membawa banyak perbekalan, sang Prabu Rakata berangkat, hanya membawa sebuah guci pusaka yang selama ini selalu setia menemani dirinya selama menjadi raja. Tanpa  terasa waktupun terus berjalan, sudah tahun ke enam sang parabu Rakata menyepi bertapa brata menjadi seorang resi. Dari waktu kewaktu kekuatan ilmunya semakin tinggi dan kewaskitaannyapun semakin tajam. Hidup semakin terasa nyaman dan damai. Jauh dari urusan dunia dan hiruk pikuk kehidupan yang terkadang menjadi beban pikirannya selama menjadi raja.
Hingga tiba suatu hari beliau mendapat kabar yang tidak mengenakan hatinya. Telah datang kepadanya seorang abdi kerajaan yang setia mengabarkan bahwa kedua putranya sedang terlibat peperangan.
Menurut sang pembawa kabar, putra sulungnya Raden Sundana telah menyerang kerajaan adiknya sendiri yaitu Raden Tapabaruna, rupanya Raden Sundana tidak cukup puas dengan keputusan yang diberikan ayahandanya saat dulu, sehingga kemudian hari menyerang kerajaan adiknya dengan niat untuk menguasai.
Sang Prabu terkejut mendengar kabar yang disampaikan kepadanya, beliaupun segera berangkat menuju medan pertempuran. Benar saja apa yang telah disampaikan abdi kerajaan itu. Setelah kedua adik kakak itu menyadari kedatangan ayahandanya merekapun segera menarik pasukan masing-masing.
Lalu keduanya menghadap ayahandanya. Prabu Rakata marah besar terhadap kedua putranya, terlebih setelah tahu kalau yang menimbulkan masalah awalnya adalah perbuatan Raden Sundana terhadap adiknya. Prabu Rakata tidak mau mendengar alasan apapun walaupun Raden Sundana memberikan banyak alasan.
Setelah Prabu Rakata mendamaikan kedua putranya, dan menyuruh mereka untuk berjanji agar tidak saling serang apalagi saling menguasai satu dengan lainnya, beliaupun menjejakan kakinya kebumi dengan keras sekali dan melayanglah tubuhnya ke udara dengan membawa gucinya. Kemudian beliau turun ditepi sebuah pantai dan mengisi gucinya penuh dengan air laut. Setelah selesai beliaupun kembali terbang menuju tempat dimana kedua putranya tadi bertempur dengan pasukannya masing-masing. Sesampainya didepan kedua putranya beliau menyuruh keduanya untuk berdiri di wilayah kekuasaanya masing-masing dan semua pasukannyapun diperintahkan untuk berdiri dibelakang rajanya masing-masing. Kemudian Prabu Rakata meminta kedua belah piahak menyaksikan apa yang akan beliau lakukan, dengan segala ilmu kesaktiannya maka air laut yang didalam guci tersebut disiramkannya kepermukaan bumi tepat ditengah kedua putranya yang berdiri berhadapan mengarah ke utara dan selatan. Kemudian gucinya ditaruh di tengah - tengah tempat yang disiram dengan air laut tersebut.
Terjadilah sebuah keajaiban, bumi bergetar dengan hebatnya terus bergetar hingga membentuk sebuah celah jurang yang sanagat dalam dan tinggi, rekahan bumi yang pecah tersebut terus merambat kearah utara dan selatan hingga bertemunya kedua ujung laut utara dan selatan. Sejak saat itu terbentuklah sebuah selat yang dinamakan selat SUNDA sebagai peringatan atas perbuatan putranya Raden Sundana. Sedangkan Guci yang ditinggalkannya kemudian berubah menjadi sebuah gunung yang kemudian hari diberi nama gunung RAKATA atau sekarang di sebut gunung KRAKATAU.

Demikian kisah legenda ini berakhir, semoga ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah legenda ini. Jauh dari nalar dan akal karena ini hanyalah sebuah legenda, bisa benar bisa salah. Semoga bermanfaat dan menjadi bijak tidak serakah seperti Raden Sundana.

Jumat, 16 Agustus 2013

DENDAM PENGHUNI JURANG


    Digelapnya malam pada tepian sebuah jurang yang luput dari pandangan manusia lainnya “Bugh…Jebret…!” beberapa kali pukulan terus mendarat dimuka,uluhati,dagu dan entah dibagian tubuh mana lagi.Terus tanpa ampun sesosok tubuh yang sudah tidak berdaya itu terus menerima pukulan ,tendangan dan segala jenis penganiyaan yang tanpa sanggup dihindarinya,bukan karena tidak bisa melawan atau membela diri tetapi karena tubuh itu terikat.Tangannya di ikat seutas tambang dan ditekuk kebelakang,wajahnya sudah berlumuran darah suaranya sudah nyaris tak terdengar dengan jelas  antara rintihan dan teriakannya,hanya kata – kata makian saja yang jelas terdengar dari segerombolan orang-orang yang menyiksanyanya tanpa ampun,makian yang kotor yang tak pantas keluar dari mulut manusia.
     Sepertinya mereka tidak puas hanya dengan memukuli dan menendanginya saja tiba – tiba salah seorang dari mereka berteriak” Hey kawan – kawan sepertinya akan lebih sangat mengasikan kalau Anjing budug tak tahu diri ini kita bakar hidup-hidup sekalian biar arwahnya gentayangan tidak bisa mati dengan sempurna…hahahaha….!”sesaat mereka berhenti lalu saling pandang satu dengan yang lainya sambil saling menyeriangai buas seolah – olah menemukan satu puncak kepuasan yang tiada tara lalu tiba – tiba “hahaha…hahaha..ha..ya! benar…benar kita bakar saja hidup-hidup mahluk sialan yang menjijikan ini!” kemudian salah satu dari mereka menjambak rambut sosok yang sudah tidak berdaya itu lalu digusur dan diseretnya tubuh yang sudah babak belur tak karuan, mereka beramai-ramai memaksa tubuh itu untuk berdiri lalu disandarkannya pada tepian dinding karang dan dihadapkannya tubuh itu kemulut jurang.
     Salah seorang dari gerombolan itu berlari ke arah mobil yang mereka parkir tidak begitu jauh dari tempat dimana mereka melakukan penganiyaan,sebuah jerigen kecil ukuran lima liter ditentengnya “Hey kalian lihat sebenarnya aku sudah menyiapkan ini..memang sejak awal aku sudah ingin membakar hidup – hidup tikus got busuk ini!”. Dengan penuh semangat dan riang gembira mereka tumpah kan cairan bensin diatas kepala orang yang mereka hajar ramai – ramai itu dan bluph!...apipun menyala membalut tubuh sosok tak berdaya itu teriakan demi teriakan terus melolong dari sosok itu,tetapi mereka terus tertawa memecah malam seolah tek perduli dengan kesakitan orang yang mereka perlakukan dengan sadis.
     Sejengkal…dua jengkal…tubuh itu terus meronta dan akhirnya tanpa bisa dihindari lagi tubuh berbalut api itupun tenjun bebas kemulut jurang yang dibawahnya bergemuruh suara ombak lautan membentur karang…jeritannya menggema membawa sejuta rasa sakit membawa sejuta rasa benci,geram dan dendam..semakin menjauh jeritan itu…dan akhirnya hilang sirna bersama deburan ombak dibawahnya.
     Sementara sebelas orang gerombolan yang menyiksanya masih tertawa – tawa dengan puas dan penuh rasa kemenangan…tawa yang berbaur dengan angin pantai ditepian jurang karang hitam laut selatan,tawa yang menggema membawa petaka dan syair – syair nyanyian iblis.Mata mereka berair bukan karena sedih, tapi mereka puas dengan tawa hingga nanar…mereka berpelukan seolah mereka merayakan sebuah kemenangan yang sangat besar…!mereka puas…!puas dan sangat puas!.Malam terus berlalu dengan keheningan yang menggiriskan suara burung hantu menambah getirnya malam dalam pelukan dingin dan kencangnya angin,ombak laut terus bergemuruh memburu membabi buta seakan ingin meluluhlantakan tebing karang terjal yang angkuh berkacak pinggang ditepian….
     Sebelas mahluk manusia tak berhati itupun mulai turun dari bukit karang hitam, tiga mobil yang mereka kendarai berjalan beriringan sedikit terseok menapaki terjalnya bebatuan karang hitam dipenghujung malam.Suara mesinnya meraung-raung memperjelas kepuasan biadab yang terlampiaskan,akhirnya merekapun lari menembus gelapnya malam.Tinggal sepi dan sunyi seperti tak pernah ada yang terjadi,seperti tak pernah ada yang mengerti bahkan seolah terbebas dari saksi.
Padahal tak satupun kejadian di muka bumi yang luput dari pandangan Ilahi.
     Sayup – sayup Bastari mendengar sura deburan ombak,perlahan penciumannya membaui bau laut,bau pasir dan “akh…!” dia berusaha menggerakan badannya,sakit semua terasa begitu ngilu dan perih.Dipaksanya sekali lagi dia menggerakan badannya hingga suaranya terbatuk-batuk menahan rasa sakit disekujur tubuhnya.Matanya pun terasa lengket dan menyempit perlahan dicobanya untuk terbuka,tak jauh beda sakit dan perih masih terasa di sekitar kelopak matanya.”Apakah aku masih hidup ?” Bastari membatin perlahan matanya dibuka lagi dan mencoba mengenali dimana ia berada.”A..a..apakah ini sebuah gua..bukankah aku dibakar dan terlempar kejurang tapi mengapa sekarang aku berada didalam gua?” Bastari terus berusaha mencoba mengingat setiap detail peristiwa yang menimpa dirinya malam itu.
     Ingatannya kembali menerawang saat dirinya dijegal sebelas orang tanpa ada alasan yang jelas.Tiba-tiba dia diseret dan dipukuli kemudian diculik dilarikan ketempat yang jauh,yang menyakitkan perasaannya bukan hanya karena pukulan dan tendangan serta makian yang diterimanya saja tetapi yang lebih menyakitkannya orang-orang yang melakukan penganiayaan terhadap dirinya adalah teman-temannya sendiri yang dikenalnya dengan baik,lalu apa salahku pikir Bastari terus membatin.”selama ini aku tidak pernah mengecewakan mereka apalagi menyakiti perasaan mereka tapi mengapa mereka begitu tega seolah ingin menghancurkan hidupku dan begitu bernafsu untuk menyingkirkan aku dari kehidupan ini”.Bastari remuk redam perasaannya, airmatanya meleleh seperti seorang anak kecil yang kehilangan ibu bapaknya, Bastari menangis sejadi-jadinya dia tidak perduli dengan rasa sakit disekujur tubuhnya karena rasa sakit dihatinya lebih tak terperikan lagi.
     Ada bara yang menyala dihatinya membakar setiap lorong jiwanya terus menjalar berkobar membakar setiap inci dalam tarikan nafas dan gerak geriknya.Tangisnya berhenti airmatanya mengering karena bara dendam didadanya.”Bila kalian sanggup merenggut kebahagiaan hidupku lalu mencampakan aku bagai sampah yang tak berguna hingga aku terbuang dari kesenangan hidup yang lama kumimpikan…maka tunggulah akupun akan membuang semua kebahagiaan yang kalian miliki,akan kurenggut setiap sesuatu yang kalian anggap berharga dari kehidupan kalian…! Hingga kalian merasa sakit sesakit-sakitnya,sedih sesedih-sedihnya…hancur sehancur-hancurnya….! Tunggu pembalasan dariku!! aku Bastari yang tidak pernah mengenal menyerah, apalagi putus asa…!Kalian kira kalian telah membunuhku dan menyingkirkanku selama-lamanya tetapi kalian gagal dan salah aku masih hidup…aku masih bernafas aku masih bisa menuntut balas dengan apa yang kalian telah lakukuan padaku ….!”.
     Bastari terus berteriak-teriak seperti orang kesurupan teriakannya tak kalah keras dengan debur ombak yang memburu pantai,lalu dia tertawa sekuat-kuatnya tetapi tawa yang penuh kegetiran,tawa yang berselimut kepedihan serta kebencian.
     Tiba-tiba Bastari menghentikan tawanya karena dia merasa ada suara tawa lain dari suara dirinya. Ditajamkan pendengarannya,diedarkan pandangannya kesekitar tempat dimana dia terdiam sekarang,suara tawa itu semakin keras dan semakin keras hingga seolah-olah dinding gua ikut bergetar dengan suara tawa itu.
     Bastari menutup kedua telinganya dengan telapak tangan karena suara tawa itu membuat pendengarannya sakit dan menimbulkan rasa pening di kepalanya.Suara tawa itu tiba-tiba berhenti,belum sempat Bastari mengangkat mukanya dua pasang kaki telah tegak memagar pandangannya celana compang – camping membungkus kedua kaki yang tegak didepannya. Bastari tersurut mundur dari posisi duduknya mencoba tengadah untuk memandang wajah orang yang berdiri didepannya.
     Ruas lehernya sedikit terasa sakit dan perih tetapi dia tidak perduli tetap dipaksakan mendongak untuk memandang orang yang berdiri didepannya.Seraut wajah setengah tua dengan rambut yang gondrong tak terawat acak-acakan menutupi sebagian wajahnya,jenggotnyapun cukup panjang meriap-riap bersama rambutya ditiup angin laut yang menerobos lorong gua.
     Wajah itu tersenyum meski lebih kelihatan menyeringai, matanya tajam memandang raut wajah Bastari.Lama sekali menatapnya seolah ingin menembus isi batin Bastari,mengorek apa yang sedang bergolak didalamnya.Bastari gugup lidahnya tercekat tak sanggup berkata-kata tubuhnya terasa menggigil seperti terserang demam tiba-tiba, tak terkendali rasa dingin itu terus mengurung sekujur tubuhnya seperti gumpalan angin puting beliung yang hendak menerbangkan tubuhnya.
     Perlahan rasa dingin itu berkurang dan terus berkurang,angin yang mengurung tubuhnyapun mulai menghilang dengan perlahan.Ajaib…rasa sakit dan perih disekujur tubuhnya serta merta menghilang seolah olah tidak pernah terluka barang sedikitpun,Bastari terhenyak kaget,bingung dan bermacam perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata,belum sempat terpikirkan kata apa yang harus di ucapkannya atas semua kejadian ajaib yang begitu cepat berlangsung dihadapannya.
     ”Anak muda bagaimana keadaanmu sekarang ?, siapa namamu ?”.Orang yang berdiri didepan Bastari akhirnya bersuara.”ke..ke..adaan sa..saya baik Pak dan..na..nama saya..aa..Bastari Pak”.Bastari mencoba menjawab walau sedikit terbata-bata karena rasa heran dan bingung dihatinya belum hilang.”syukur kalau kau sudah membaik,kalau begitu cobalah kau berdiri dan berjalan kedepan sana,agar kamu bisa tau berada dimana kamu sekarang….dan berkacalah di air yang tergenang disamping mulut gua! apakah kau masih mengenal wajahmu atau tidak ?”.Ada yang tersentak dalam batin Bastari mendengar kata-kata orang setengah tua yang baru dikenalnya itu,”apa yang terjadi dengan wajahku” batinnya.
     Reflek jari-jari tangannya meraba wajahnya sendiri terasa agak sedikit  begelombang di bagian wajahnya ada yang terasa kisut kasar dan …Bastari tak sanggup menahan rasa penasaran dan kebimbangannya serta merta diapun berdiri dan langsung berlari menuju mulut gua, dia segera menghampiri kubangan air jernih yang terletak disamping mulut gua yang sebenarnya lebih mirip sebuah sendang.Sesampainya disana dia menahan langkahnya sesaat ada keraguan didadanya dia termenung, tapi rasa penasaran lebih mendera dadanya, perlahan dia jongkok ditepian sendang dengan bertumpu pada

kedua lututnya lalu diapun duduk diatas kedua betisnya dengan debaran jantung yang semakin membuncah, tangannya gemetar…bibirnya bergetar…tapi dia harus berani,  apapun yang terjadi dengan wajahnya dia haus bisa ..ya..harus bisa menerimanya. Dan…alangkah terkejutnya saat dia dapati bayangan wajahnya dimuka air.                 Dia hampir tak sanggup, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
     Wajahnya hancur berkeriput penuh dengan bekas luka bakar yang meninggalkan kerutan-kerutan tak menentu diwajahnya. Ada lipatan memanjang dari dahi kiri menyilang kedagu bagian kanannya.Lipatan itu begitu jelas membentuk relief dimukanya,kelopak matanya yang kananpun agak sedikit tertarik ke atas membentuk kerutan yang mengerikan. Sementara pipi bagian kirinya meninggalkan cacat berlubang yang cukup dalam sehingga sebagian rahang atasnya sedikit keliatan dan agak menonjol keluar akibat terbakar yang cukup hebat.
     Ditekan lidah kelangit-langit mulutnya, badannya bergetar hebat menahan gejolak emosi yang menyala-nyala didadanya, hatinya luluh lantak dunia seakan berhenti berputar semua menjadi lambat bergerak, kelopak matanya terasa memanas. Sisi baik hatinya mengatakan untuk bersabar dan bertawakal, meminta lidahnya untuk beristigfar, tetapi luka didadanya makin melebar meneteskan darah dendam dan kebencian!.Lalu setan berbisik didadanya menawarkan sebuah kerjasama berkolaborasi menebar dendam dan kenistaan
bersamanya. Dinyalakannya bara yang sedari tadi sudah memerah dihatinya blup…! arang bara itu menyala kembali membakar dinding hati dengan pucuk murka jilatannya…”AAAAAAAAAAAAA…..!” Bastari berteriak, teriakan mendirikan bulu roma  kembali dia menangis sejadi-jadinya.Lalu dia berdiri gontai berlari ke arah lautan yang ombaknya bergelora seperti ingin menelan apa saja yang mendekatinya.
     Bastari terus berteriak dia sumpahi apa saja, dia kutukuki nasibnya bahkan dia salahkan Tuhannya”Aku tidak mau hidup seperti ini..mengapa nasib baik tak pernah berpihak kepadaku?..apa salahku ? hey langit dengarkan aku!.. aku tidak pernah minta dilahirkan kedunia ini…!aku tidak pernah minta untuk jadi manusia…!Tuhan mengapa kau perlakukan aku seperti ini?!.. apa salahku apa dosaku ?!..aku tidak pernah minta untuk jadi manusia!!! Mengapa kau jadikan juga aku sebagai manusia kalau hanya untuk dibuat sengsara dan menderita seperti ini???!!!! Kau sungguh tidak adil!!!..Kau membuat aku kecewa Tuhan!!! lebih baik aku mati saja ditelan laut selatan dari pada aku harus menanggung derita dari sesuatu yang tak pernah aku lakukan .!.aku mau mati saja!!!!.
Bastari terus mengoceh sambil berteriak teriak tak karuan dia terus berlari  menerjang ombak lautan dia ingin mati. Tetapi tiba-tiba..sebuah batu sebesar ibu jari mendarat dibelakang lutut Bastari “bletak!” lalu sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh Bastari yang hampir saja ambruk karena hantaman batu tadi.
     Bayangan itu melesat membawa tubuh Bastari kembali kedalam gua lalu dijatuhkannya tubuh Bastari kelantai goa sedikit terbanting”brug” tubuh Bastari
terhempas “Hey anak bodoh!!..apa kau sudah tak punya otak lagi tolol?..mengapa kau ingin mati? mengapa ? mana sumpah serapahmu untuk membalas dendam pada orang-orang yang sudah menghancurkanmu ? mana ?!!!! apa bisa bila kamu mati membalas dendam kepada mereka ? apa bisa ????!!! dasar tolol pake otakmu mana ada orang mati bisa bangkit lagi lalu membalas  dendam ?! dasar goblogk kamu !!! bangkit kamu

!”.        Ternyata orang setengah tua itu yang telah menghentikan perbuatan nekat bunuh diri Bastari,rupanya orang ini bukan orang sembarangan,nyatanya dia bisa bergerak secepat kilat seperti jagoan dalam film-film kungfu atau film laga, ya!.. orang ini punya kemampuan ilmu beladiri tingkat tinggi yang sudah jarang sekali dimiliki orang dizaman seperti ini,atau bahkan mungkun sudah tidak ada yang bisa seperti itu.
     Orang misterius itu terus memarahi Bastari, diguncang-guncangnya tubuh Bastari,perlahan suaranya mulai melunak,seperti seorang ayah kepada anaknya dipeluknya tubuh Bastari erat-erat, ada air bening tergenang dikelopak matanya”Bastari dengarkan aku…aku tau dan sangat paham dengan perasaanmu nak,kamu hancur berkeping-keping…kamu luluhlantak berantakan. Hatimu pecah berkeping-keping tapi bukan berarti kamu harus menyerah dan putus asa,kalu bukan dirimu siapa yang akan perduli dan menyusun serpihan hatimu yang hancur nak…alangkah ruginya bila kamu mati percuma, sementara orang-orang yang menghancurkanmu tertawa melenggang bebas disana menikmati hidup dengan penuh kesenangan,kegembiraan suka cita..menikah…punya anak dan keturunan tinggal dirumah-rumah mewah diperkotaan! sementara kamu disini dijurang laut selatan mati konyol dan terlupakan…ah..betapa menyedihkannya!”.
     Bastari terdiam sesaat, tangisnya terhenti,ditatapnya wajah orang misterius itu dengan pandangan sembab”Bapak mengapa Bapak begitu perduli dengan hidupku ? aku bukan siapa-siapa untukmu,bahkan untuk siapapun sampai kawan-kawanku sendiripun menganiayaku dan membuangku disini,untuk apa Bapak lakukan semua ini ? aku tak punya harta sedikitpun untuk membalas semua kebaikan yang Bapak lakukan untukku”.Panjang lebar Bastari bertanya pada orang tua yang duduk dihadapannya.Akhirnya mereka terlibat dialog panjang mencoba saling mengenal satu dengan lainnya.

BERSAMBUNG..................

Selasa, 13 Agustus 2013

TIGA PERMINTAAN

     Hiduplah seorang pemuda miskin, tinggal sebatangkara disebuah  gubuk reyot.
Saking miskinnya untuk makan setiap haripun dia hanya bisa mengandalkan pemberian dari majikannya saja atas balasan atau imbalan jasa kerjanya sebagai seorang penggembala kambing.
Hidupnya memang sangat menderita ditambah lagi majikannya itu seorang yang sangat kikir, pelit dan cap jahe. Entah sebutan apa yang pas untuk sang majikan yang sperti itu. Jika ia pergi menggembalakan kambing sang majikan hanya membekalinya dengan sebungkus nasi yang alakadarnya saja. Cukup garam dan sambal saja sebagai lauk pauknya. Terkadang nasi yang d iberikannyapun tak cukup untuk makan hingga sore tiba saat dia harus beranjak pulang untuk mengantar kambing gembalaannya.
     Tidak cuma sampai disitu, nasib begitu betah dan suka mempermaikannya, sang majikan yang pelit itu tidak pernah mau memberinya selembar pakaian pun kepada pemuda miskin itu. Hingga pakaiannya sudah compang camping tak karuan, kalau saja orang melihatnya hanya selintas pasti akan punya anggapan kalau pemuda itu seorang pengemis atau gelandangan atau bahkan mungkin di anggpnya orang tidak waras atau gila.
Berbagai cara sudah dilakukannya untuk bisa merubah keadaannya yang miskin. Tetapi tetap saja ia tidak juga beranjak menjadi kaya. Jangankan jadi kaya untuk keperluan makan saja tidak ada perubahan sama sekali. Tetap saja harus menunggu belas kasihan dari sang majikan. Hingga suatu hari ia jatuh sakit karena kelelahan dan tekanan pikiran yang berat.
     Sedangkan sang majikan tidak perduli sama sekali, jauh dari kata dan rasa iba apalagi mau merawatnya, hanya sekedar menengokpun sang majikan tidak mau. Selama beberapa hari si pemuda miskin inipun berjuang keras menahan rasa lapar dan sakitnya. Tuhan memang baik seseorang telah digerakan hatinya untuk datang ke gubuknya, memberinya makan dan membantu merawatnya, ahirnya sipemudap sembuh dari sakitnya. Ia berterimakasih kepada tetangganya yang sudah dengan ikhlas membantu dan merawatnya hingga ia sembuh dari sakit.
     Setelah sembuh dari sakit pemuda miskin itu tidak datang ke tempat majikannya untuk menggembala seperti biasanya, pemuda itu malah pergi kehutan belantara, ia putus asa, ia membuang dirinya sudah bulat tekadnya tidak akan mau lagi kembali kekampungnya lebih baik dia mati dimakan harimau atau srigala.
Dihutan itu dia duduk dibawah sebuah pohon besar, matanya ditutup rapat-rapat, duduk bersemedi seperti seorang yang sedang bertapa. Dari hari kehari terus begitu sudah tidak perduli lagi dengan rasa lapar yang mendera perutnya. Tidak dihiraukannya tubuhnya yang mulai melemah dia tetap duduk tak bergeser sedikitpun. Dan akhirnya dia tertidur lelap dalam tidurnya dia bermimpi bertemu seorang kakek yang memberikannya tiga buah batu yang sangat bagus dan batu itu adala batu ajaib untuk memohon tiga buah permintaan. Karena girang dan senang dalam mimpi itu dia berteriak-teriak hingga benar-benar terbangun, ajaib…!!! batu yang tiga butir itu benar – benar ada. Sipemuda  terbelalak matanya dan segera diambilnya tiga buah batu yang tidak seberapa besar itu. Diamatinya dengan seksama, indah dan sangat licin. Segera dimasukannya ketiga buah batu seukuran telur ayam kampung itu kedalam kantong bajunya.
     Tiba-tiba terdengar suara seseorang tanpa wujud “Buatlah tiga permintaan apa saja dan setiap 1 permintaan maka kamu harus melempar satu buah batu itu…lakukan saja sesukamu kapan saja, segeralah pulang kerumahmu sekarang !!!”. Kaget, takut bercampur senang si pemuda segera pulang kerumahnya. Sepanjang jalan dia bersiul dan senyam-senyum. Sudah terbayang di otaknya akan menjadi orang kaya. Dia terus berusaha menyempurnakan keinginannya agar tidak salah saat menyebutkan keinginannya. Dihatinya dia berkata” keinginan pertama aku mau jadi orang kaya raya, kemudian aku mau menjadi seorang raja, karena kekayaan tanpa kekuasaan akan terasa tidak berguna dan yang ke tiga aku mau semua orang tunduk dan patuh atas segala perintahku. Sesampainya dirumah si pemuda bersegera membuka batu yang dimasukannya kedalam saku bajunya, lalu dia memilih halaman belakang rumah yang sepi dan lebat dengan pepohonan, agar tidak ada orang yang melihat dengan apa yang akan dilakukannya.
     Diambilnya sebuah batu dari saku bajunya, dia berdiri dengan khidmat sambil memejamkan matanya, tiba-tiba pikirannya bimbang dengan apa yang di inginkannya,” apa…sebaiknya aku minta uang yang banyak saja ya…dengan uang aku bias membeli apapun termasuk harga diri…” dia bergumam pada dirinya sendiri, pikirannya tambah bingung. Beberapa saat dia hanya berdiri mematung. Kemudian terucap dari bibirnya…”aku ingin banyak….” Belum selesai ucapannya tiba-tiba seekor lebah menyambar kupingnya”stak…!!!” kontan saja batu ditangannya terlempar dan terucap dari bibirnya”aku ingin banyak kuping….ku…!!!”. Dia terjatuh karena saking kaget dan sakitnya disengat lebah. Saat terbangun dari jatuhnya si pemuda sangat kaget dan ketakutan mendapati sekujur tubuhnya penuh dengan kuping seperti jamur kuping menutupi pohonnya.” Ya Tuhan kenapa jadi begini….?” Sipemuda bersedih setelah mendapati dirinya seperti itu. Dirogohnya batu kedua yang ada didalam sakunya. Dengan segala kegusaran diapun kembali berdiri dan segera melempar batu kedua sambil berteriak “aku ingin hilang semua kuping-kupingku…!”. Keajaibanpun terjadi, semua kuping yang tumbuh menutupi seluruh tubuhnya hilang dengan seketika, sipemuda gembira dan kegirangan, tetapi dia baru sadar kalau dirinya harus punya kuping sebagai alat pendengar dan pelengkap tubuhnya yang Tuhan ciptakan. Dengan segala rasa bimbang dirabanya kedua kupingnya…dan “aaarrrggggghhhhhh…..!!! kupingku tidak ada semua…”. Diapun menangis meratapi kebodohannya dalam bertindak. Akhirnya dia mengambil batu yang ketiga. Batu terakhir untuk sebuah permintaannya. Dengan airmata berlinang dia kembali berdiri dan siap melempar batu, hanya tinggal satu permintaan lagi yang dia punya, dia sadar betapa berharganya hidup yang Tuhan berikan kepadanya dengan kelengkapan tubuhnya sebagai manusia,kemudian dia berucap dengan lirih “Wahai Tuhannya manusia…ampuni aku atas segala kebodohanku, seperti apapun kemiskinan yang aku derita itu adalah sebuah ujian kesabaran bagiku yang pasti aku harus tetap ada dijalnMu, ya Tuhan aku ingin kembali punya sepasang kuping seperti saat engkau ciptakan aku dengan tubuhku yang sempurna…” dilemparnya batu terakhir itu dan diapun kembali memiliki kuping. Tamat.

Somoga cerita ini ada manfaatnya ya….




Rabu, 07 Agustus 2013

SATU HARI MENJELANG LEBARAN

Kabut dikaki gunung mulai menebal, udara dingin musim kemarau terasa mendesak seluruh tubuh, kalau saja tidak biasa hidup dikaki gunung pasti sudah menggigil. Angin senja mulai bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan disekitar lembah itu. Sinar sang surya perlahan memerah ditepi kaki langit sebelah barat.
Widharma sedang bersiap-siap turun ke kampung setelah selesai mencari rumput untuk pakan ternak peliharaannya. Sudah menjadi pekerjaannya setiap hari, selesai mengontrol sawah dan kolam ikannya, dia akan melanjutkan mengontrol kebun dan mencari rumput. Letak kebunnya cukup jauh dari kampun berjarak sekitar empat kilometer berada di punggung gunung. Kebun sewaan dari Perum Perhutani setempat.Biasanya anak semata wayangnya suka ikut kemanapun Widharma pergi, terkecuali saat sekolah. Anaknya laki-laki baru berumur delapan tahun kelas dua SD. Dana namanya,semenjak ditinggal ibunya pergi bekerja jadi TKW ke Arab Saudi Dana banyak berubah agak bandel dan susah sekali diatur. Terkadang untuk urusan mandi saja harus dikejar-kejar ayahnya. Yang lebih kasihan lagi anak ini jadi susah makan bukan tidak ada makanan tetapi sulit sekali diajak makan seolah nafsu makannya hilang entah kemana. Badannya kurus, Widharma sudah mencoba berbagai cara agar anaknya mau makan dengan normal seperti dulu saat ibunya masih ada disampingnya.
Pikulan penuh rumput hijau dan segar berayun seiring dengan langkah Whidharma menyusuri jalan setapak yang menurun menuju perkampungan. Keringatnya mengalir membasahi wajah dan tubuhnya.Meskipun saat berpuasa Widharma tidak menjadi malas untuk melakukan pekerjaan rutinnya setiap hari. Sambil berjalan tak terasa pikirannya jauh menerawang kemasa-masa lalu saat masih berkumpul dengan istrinya, tak terasa sudah tiga tahun dirinya hidup tanpa kehadiran istrinya. Hanya telpon dan sms saja yang dia terima sebagai teman rindunya, dan setiap bulan menerima kiriman uang dari Arab Saudi hasil kerja istrinya. Dengan uang itulah Widharma memperbaiki rumah dan mengolah sawah serta segalanya. Allhamdulillah semuanya manfaat tidak ada uang yang terbuang percuma.
Tanpa terasa sudah sampai dibelakang rumah, disamping kandang sapi perah peliharaannya. Diletakan pikulan penuh rumput sambil menarik nafas panjang dia duduk dibangku kayu dibawah pohon jeruk yang ada di dekat pintu menuju dapur. Buahnya sedang ranum sesaat lagi siap dipanen.
“Dharma…!!!” terdengar suara ibunya memanggil namanya dari jauh, sedikit agak malas karena rasa cape, diapun bangkit dari duduknya menuju rumah ibunya yang hannya terhalang batas halaman saja dengan pagar perdu.”Dharma tuh lihat anak kamu si Dana dari tadi diajak pulang gak mau malahan diam saja dipinggir tanggul sungai, padahal sudah tidak ada temannya yang bermain disana, belum mandi sore lagi. Haduuuuhhhhh….ema mah suka pusing lihatnya susah pisan(sekali_sunda)diaturnya anak kamu mah”. Ibunya nyerocos tanpa memberi kesempatan untuk bicara. Tanpa banyak pikir Widharma segera pergi ketanggul sungai mencari Dana anaknya.
Benar saja sesampainya disana, anaknya sedang duduk dipinggiran tanggul entah apa yang sedang dipikirkannya, wajah polosnya Nampak murung. Rambutnya kecoklatan terbakar matahari. Disampingnya tergeletak gulungan benang bekas main layang-layang. Dihampirinya dengan penuh kasih sayang.”Sedang apa nak…pulang yu…sudah sore” sapa Widharma kepada anaknya. Dana menatap wajah ayahnya, mata beningnya Nampak layu seperti lelah. Ada air menggenang dibola mata itu, bibirnya bergetar seperti ada yang ingin di ucapkan tetapi tidak terucap hanya tangisan terisak, Dana memeluk ayahnya.”sssssttttt….cup…cup…ada apa nak kita bicara nanti dirumah ya…” Whidarma menggendong anaknya dalam pangkuan. Tak perduli badan anaknya yang mulai tinggi hingga kakinya menjuntai saat digendong.
Sesampainya dirumah Widharma memasak air untuk mandi anaknya dan dirinya sendiri, berharap dengan mandi air hangat pikiran mereka berdua bisa lebih tenang dan segar. Sebenarnya Widharma tahu benar dengan apa yang terjadi pada anaknya, karena sudah beberapa kali merajuk seperti itu. Hanya saja terkadang Widharma bingung harus memberi alasan apa lagi saat anaknya merajuk merindukan ibunya. Menjanjikan kepulangan ibunya...? nanti anaknya akan tambah merajuk karena sudah sering dijanjikan seperti itu, sedang ibunya tak kunjung datang.
Selesai mandi widharma menyalakan lampu rumah, hari mulai masuk ke magrib sambil berbuka puasa hari terakhir Widharma menyuapi anaknya. Allhamdulillah puasa tuntas sebulan penuh.”Pak…kalau ibu kapan pulangnya…besok lebaran pak…” tiba–tiba Dana menanyakan lagi kepulangan ibunya. Widharma menghela nafas dalam.”Sabar nak ibumu belum bisa pulang, bapak juga ingin berkumpul dengan ibu seperti halnya kamu, apa lagi saat lebaran seperti ini”. Suara Widharma terdengar berat menahan perasaan sedih yang bergejolak di dadanya. Dipeluknya Dana dengan sepenuh rasa, ada air mata yang memaksa menetes dari sudut matanya. Air mata  kerinduan yang tak terbataskan.Hanya karena satu alasan saja “ingin hidup layak” Tarliah istrinya tidak bisa dilarang tetap memaksakan pergi untuk bekerja di Arab Saudi. Masih terngiang di telinganya kata-kata terakhir saat mau berangkat”saya mau buktikan sama tetangga kalau saya juga bias hidup layak dengan usaha dan tenaga saya, meskipun saya punya suami miskin”.Air mata Widharma semakin deras menetes, suara takbiran dari mesjid semakin menyayat hatinya.” Andai saja aku bias memberi harta yang cukup mungin istriku tidak akan pergi sejauh itu demi mencari harta” Widharma mengutuki dirinya, ”andai saja kamu bisa menerima suamimu apa adanya, hidup sederhana, mungkin kita tak akan berpisah jauh...lihatlah anakmu merindukanmu... tanpa aku tahu harus berbuat apa, pulanglah Tarliah...aku dan anakmu merindukanmu” Semakin erat pelukannya. Anak dan bapak menangis bersama diantara gema suara takbir menjelang lebaran besok hari. Diluar hujan gerimis disertai angin, seolah ingin melarutkan kesedihan diantara bongkahan kerinduan.

Selamat Iedul Fitri Widharma. . .
 

AKU INGIN PULANG

Matahari mulai memerah, kala senja menjemput teriknya siang, saat yang dinanti bagi semua orag Islam yang sedang berpuasa akan segera tiba. Dikaki langit sebelah barat burung-burung kecil berterbangan diantara kemilau senja, Nampak seperti siluet  yang bergerak kian kemari. Kumandang adzan magribpun tiba. Semua orang yang berpuasa Ramadhan bergembira setelah seharian menahan haus, lapar dan dahaga.
     Begitupun Susana disebuah pondok pesantren sederhana, para santri nya sedang ramai berbuka puasa, ta’jil dengan hidangan manis sederhana hasil olahan dari Ambu dan Abah pemilik pondok. Yang setiap hari selalu berusaha menyediakan makanan gratis untuk para santrinya berbuka puasa.
Dipondok Al – Hidayah itu kurang lebih ada 60 orang santri, rata- rata mereka masih berusia antara 8 sampai 14 tahun. Abah dan Ambu sengaja membuat pondok ini untuk menampung anak-anak kurang mampu dan yatim piatu. Hanya saja dari 60 orang anak yang ada hanya ada dua orang saja yang benar-benar yatim piatu, dan mereka berdua memiliki keterbatasan secara lahiriah. Sabarudin adalah salahsatunya,  usianya  12 tahun, Sabar tidak bisa lancar dalam berbicara atau biasa orang katakan gagu, cukup sulit untuk bisa berkomunikasi dengan Sabarudin, karena suaranya sukar sekali untuk dipahami. Sedangkan satu orang lagi bernama Abdullah, usianya terpaut 2 tahun dari Sabarudin. Abdullah baru berusia 10 tahaun, dan Allah SWT memberikan cobaan baginya dengan kekurangan pada penglihatannya. Subhanallah keduanya bersahabat dekat, karena mungkin mereka merasa punya kesamaan nasib.
Selesai shalat magrib, abah mengajak para santrinya berkumpul, “ Asalamualaikum….anak-anak apa kabar hari ini, puasanya lancar ?”. Serentak semuanya menjawab salam Abah bersamaan. “Alaikum salam…allhamdulillah…”. Abah kemudian melanjutkan kata-katanya “anak-anakku, tak terasa Iedul Fitri tinggal 2 hari lagi, Allhamdulillah kita diberi kemampuan untuk menjalankan ibadah puasa wajib dengan lancar dan sehat wal afiat. Abah hanya mau mengingatkan saja, bagi kalian yang mau pulang kampung menjumpai sanak saudara dan keluarga, boleh pulang mualai besok. Persiapkan semua perbekalan dan barang-barang kalian yang hendak kalian bawa pulang ya. Selamat Iedul Fitri….mohon maaf lahir dan batin, semoga semua a’mal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin.” Panjang lebar Abah menyampaikan pesannya. Anak-anak santri bergembira mendengar apa yang sudah Abah sampaikan, sambil menyaksikan kegembiraan para santrinya Abah berkeliling dari satu bangku ke bangku lainnya ditemani Ambu, sambil  membagikan amplop berwarna hijau, yang biasanya berisi hadiah uang tunai untuk bekal para santri pulang kerumah masing-masing.
Diantara kegembiraan itu ada dua wajah yang terdiam tanpa ekspresi, Sabar dan Abdul. Ada rasa yang sama didalam hati mereka berdua, mereka ingin pulang bertemu keluarga. Seperti anak-anak santri yang lainnya. Tapi hendak pulang kemana. Ayah ibu mereka sudah tadak punya, bahkan sanak saudara dari keluarga merekapun, mereka tidak tahu ada dimana. Mereka tinggal bersama Abah dan Ambu sejak mereka kecil. Yang ada di ingatan mereka, dulu…dulu sekali  mereka di bawa oleh tangan halus dan lembut Abah dan Ambu dari sebuah tempat yang sudah tidak bisa mereka gunakan lagi untuk tempat tinggal. Tempat yang jauh dan katanya saat itu tempatnya runtuh karena sebuah bencana.
Tangan Sabarurin bergetar saat menerima sebuah amplop berwarna hijau, bibir bawahnya di gigit matanya yang menatap wajah Abah yang teduh, hanya sebuah suara yang tak jelas keluar dari kerongkongannya sebagai ucapan terimakasih. Digenggamnya amplop hijau itu erat sekali. Matanya jauh menerawang menembus alam khayalan  entah tempat dan rumah apa yang ada dipikirannya. Ada bilur bening bergerak dari sudut matanya disertai suaranya yang parau dan tak jelas, entah mengatakan apa. Abdullah….ya hanya Abdullah yang sangat paham dengan maksud dan arti dari suara Sabar. Perlahan Abdullah bergeser duduknya, mendekati kawan karibnya. Tangan Abdullah  menggapai perlahan mencoba meraih pundak Sabarudin. Abdullah tahu kawannya sedang sedih, sedang merindukan keluarga, ayah , ibu dan kampung halaman.”Sabar….seperti namamu, kita harus sabar, kita yatim piatu tidak punya siapa-siapa selain Allah SWT dan Abah serta Ambu yang mengurus dan menyayangi kita”. Anak umur sepuluh tahun itu sangat dewasa dan bijaksana dengan kata-katanya. Sabar mengangguk perlahan, namun rasa sedihnya tak bisa ditahan. Airmatanya mengalir . Dipeluknya Abdullah erat – erat dengan suara tangis yang ditahan.
Suasana jadi hening, Abah datang menghampiri mereka berdua, yang lainnya diam tanpa kata, hanya terdengar desah nafas dari masing-masing orang yang ada di ruangan itu. Abah menenangkan keduanya sampil mengelus kepala kedua anak itu, didekapnya kedua anak itu dengan penuh kasih sayang.
Selesai Adzan subuh, semua anak-anak berpamitan untuk pulang mudik kekeluarganya masing-masing. Pondok menjadi hening, barak tempat tidur santripun sepi. Tinggal dua orang bocah saja. Abdullah asik  dengan kebiasaannya menganyam daun nipah untuk dijadikan kantong. Meskipun penglihatannya cacat Abdulah sangat pandai dengan pekerjaan seperti itu, lalu dia berdiri, tangannya berusaha menggapai dinding menuju halaman, langkahnya  terus menuju halaman, sesaat dia menengok kebelakang berharap Sabarudinn mengikutinya.”Sab…ayo kita ke halaman aku mau merasakan hangatnya matahari…!” Abdulah setengah berteriak, menyadarkan Sabarudin dari lamunannya. Keduanya berjalan menuju halaman, dengan penuh kasih sayang Sabarudin menuntun tangan Abdulah dengan sabar membawanya jalan-jalan menelusuri halaman pondok yang mulai sepi.
“A…aa…eeeuuuu..” Sabaudin mengajak Abdulah berbicara. Yang diajak bicara tetap lurus pandangannya  tetapi dia paham benar apa yg dimaksud kawannya.” Sab begini saja, kita menghadap Abah minta ijin untuk mudik ke kampong dimana kita dulu pernah tinggal, Abah pasti mau menunjukannya”. Sabarudin menganggukan kepalanya, kemudian keduanya berjalan menuju rumah Abah.
“Sebenarnya Abah berat dan khawatir melepaskan kalian pulang kampung apalagi tidak ada keluarga yang kalian tuju, tapi ya sudahlah abah yakin Allah SWT tahu dengan keinginan kalian berangkatlah ke Ci Sewu dimana kalian dulu dilahirkan, berlebaran disana datangi saja Masjid Arrahman disana ada Ustadz Komar nanti berikan surat ini, kalian jangan terlalu lama  disana ya.” Abah matanya berkaca-kaca begitupun dengan Ambu. Selepas Isya keduanya Berangkat menuju Terminal terdekat.
“Bang tiketnya dua untuk ke cisewu….” Abdullah memesan tiket.” Aduh sayang nak…tiketnya sudah habis terjual dan yang tadi adalah bis terakhir, kenapa mendadak belinya ?”. Penjaga tiket geleng-geleng kepala. Dengan langkah yang letih keduanya berjalan menuju bangku tunggu penumpang dipinggir terminal. Keduanya tak lepas saling pegang erat seolah takut kehilangan satu dengan lainnya. Keduanya berfikir keras untuk bisa berangkat ke kampong tujuan.”A….aku tahu kita ke stasiun kereta saja, siapa tahu ada kereta yang bisa kita tumpangi !”. Tanpa pikir panjang Abdul mengajak Sabar untuk berangkat ke Stasiun, lumayan agak jauh jaraknya. Keduanya berdiri di pinggir jalan raya menunggu angkutan menuju stasiun, hujan gerimis tiba-tiba, Sabar mengacungkan jarinya menyetop sebuah taxi, maklum anak-anak, tidak tawar menawar mereka langsung minta diantar ke stasiun. “ Sudah sampai ni…ayo turun” Abang taxi mengingatkan keduanya. “Berapa ongkosnya bang ?” Tanya Abdul.”50 ribu” jawab si abang taxi.”Haaaa….mahal sekali bang…kami anak yatim mau pulang kampung, abang bisa kurangi gak ongkosnya ?” Abdullah menawar sambil memelas. Abang taksi diam sebentar. Diamatinya wajah Abdullah yang polos kedua bola matanya tidak bergerak, lalu tangan si Abang digerak gerakan didepan mata Abdul. “De…” suara si abang lirih…”ya bang…” jawab Abdul. “Kalian mau pulang kemana ?” Tanya Abang taxi lagi. “Kami mau pulang ke Cisewu bang, mau ke masjid Arrahman…” jawab Abdul. Sesaat abang taxi teridam, “ kenapa pulangnya ke masjid bukan kerumah…???”. Abdullah terdiam…Sabarpun hanya menunduk. “Kami sudah tidak punya keluarga bang…tapiii…kami ingin merasakan pulang kampung, dimana kami dulu dilahirkan, Abah guru kami dipondok mengijinkan kami untuk pulang dan menemui ustadz disana”. Suara Abdul menjadi serak menahan rasa sedih, rindu untuk bertemu ibu dan ayahnya abdul pun tak sanggup lagi menahan tangisnya, pilu terdengar sedu sedan akan sebuah kerinduan. Abang taxi pun ikut menitikan air mata, dipeluknya dua anak itu. Dan diapun berjanji akan mengantar jemput mereka tanpa harus bayar. Malam berjalan dibawah gerimis taxi itupun melaju mengantarkan dua kawan senasib. Disertai gembira dan rasa pilu menjadi satu.