Translate

Rabu, 07 Agustus 2013

AKU INGIN PULANG

Matahari mulai memerah, kala senja menjemput teriknya siang, saat yang dinanti bagi semua orag Islam yang sedang berpuasa akan segera tiba. Dikaki langit sebelah barat burung-burung kecil berterbangan diantara kemilau senja, Nampak seperti siluet  yang bergerak kian kemari. Kumandang adzan magribpun tiba. Semua orang yang berpuasa Ramadhan bergembira setelah seharian menahan haus, lapar dan dahaga.
     Begitupun Susana disebuah pondok pesantren sederhana, para santri nya sedang ramai berbuka puasa, ta’jil dengan hidangan manis sederhana hasil olahan dari Ambu dan Abah pemilik pondok. Yang setiap hari selalu berusaha menyediakan makanan gratis untuk para santrinya berbuka puasa.
Dipondok Al – Hidayah itu kurang lebih ada 60 orang santri, rata- rata mereka masih berusia antara 8 sampai 14 tahun. Abah dan Ambu sengaja membuat pondok ini untuk menampung anak-anak kurang mampu dan yatim piatu. Hanya saja dari 60 orang anak yang ada hanya ada dua orang saja yang benar-benar yatim piatu, dan mereka berdua memiliki keterbatasan secara lahiriah. Sabarudin adalah salahsatunya,  usianya  12 tahun, Sabar tidak bisa lancar dalam berbicara atau biasa orang katakan gagu, cukup sulit untuk bisa berkomunikasi dengan Sabarudin, karena suaranya sukar sekali untuk dipahami. Sedangkan satu orang lagi bernama Abdullah, usianya terpaut 2 tahun dari Sabarudin. Abdullah baru berusia 10 tahaun, dan Allah SWT memberikan cobaan baginya dengan kekurangan pada penglihatannya. Subhanallah keduanya bersahabat dekat, karena mungkin mereka merasa punya kesamaan nasib.
Selesai shalat magrib, abah mengajak para santrinya berkumpul, “ Asalamualaikum….anak-anak apa kabar hari ini, puasanya lancar ?”. Serentak semuanya menjawab salam Abah bersamaan. “Alaikum salam…allhamdulillah…”. Abah kemudian melanjutkan kata-katanya “anak-anakku, tak terasa Iedul Fitri tinggal 2 hari lagi, Allhamdulillah kita diberi kemampuan untuk menjalankan ibadah puasa wajib dengan lancar dan sehat wal afiat. Abah hanya mau mengingatkan saja, bagi kalian yang mau pulang kampung menjumpai sanak saudara dan keluarga, boleh pulang mualai besok. Persiapkan semua perbekalan dan barang-barang kalian yang hendak kalian bawa pulang ya. Selamat Iedul Fitri….mohon maaf lahir dan batin, semoga semua a’mal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin.” Panjang lebar Abah menyampaikan pesannya. Anak-anak santri bergembira mendengar apa yang sudah Abah sampaikan, sambil menyaksikan kegembiraan para santrinya Abah berkeliling dari satu bangku ke bangku lainnya ditemani Ambu, sambil  membagikan amplop berwarna hijau, yang biasanya berisi hadiah uang tunai untuk bekal para santri pulang kerumah masing-masing.
Diantara kegembiraan itu ada dua wajah yang terdiam tanpa ekspresi, Sabar dan Abdul. Ada rasa yang sama didalam hati mereka berdua, mereka ingin pulang bertemu keluarga. Seperti anak-anak santri yang lainnya. Tapi hendak pulang kemana. Ayah ibu mereka sudah tadak punya, bahkan sanak saudara dari keluarga merekapun, mereka tidak tahu ada dimana. Mereka tinggal bersama Abah dan Ambu sejak mereka kecil. Yang ada di ingatan mereka, dulu…dulu sekali  mereka di bawa oleh tangan halus dan lembut Abah dan Ambu dari sebuah tempat yang sudah tidak bisa mereka gunakan lagi untuk tempat tinggal. Tempat yang jauh dan katanya saat itu tempatnya runtuh karena sebuah bencana.
Tangan Sabarurin bergetar saat menerima sebuah amplop berwarna hijau, bibir bawahnya di gigit matanya yang menatap wajah Abah yang teduh, hanya sebuah suara yang tak jelas keluar dari kerongkongannya sebagai ucapan terimakasih. Digenggamnya amplop hijau itu erat sekali. Matanya jauh menerawang menembus alam khayalan  entah tempat dan rumah apa yang ada dipikirannya. Ada bilur bening bergerak dari sudut matanya disertai suaranya yang parau dan tak jelas, entah mengatakan apa. Abdullah….ya hanya Abdullah yang sangat paham dengan maksud dan arti dari suara Sabar. Perlahan Abdullah bergeser duduknya, mendekati kawan karibnya. Tangan Abdullah  menggapai perlahan mencoba meraih pundak Sabarudin. Abdullah tahu kawannya sedang sedih, sedang merindukan keluarga, ayah , ibu dan kampung halaman.”Sabar….seperti namamu, kita harus sabar, kita yatim piatu tidak punya siapa-siapa selain Allah SWT dan Abah serta Ambu yang mengurus dan menyayangi kita”. Anak umur sepuluh tahun itu sangat dewasa dan bijaksana dengan kata-katanya. Sabar mengangguk perlahan, namun rasa sedihnya tak bisa ditahan. Airmatanya mengalir . Dipeluknya Abdullah erat – erat dengan suara tangis yang ditahan.
Suasana jadi hening, Abah datang menghampiri mereka berdua, yang lainnya diam tanpa kata, hanya terdengar desah nafas dari masing-masing orang yang ada di ruangan itu. Abah menenangkan keduanya sampil mengelus kepala kedua anak itu, didekapnya kedua anak itu dengan penuh kasih sayang.
Selesai Adzan subuh, semua anak-anak berpamitan untuk pulang mudik kekeluarganya masing-masing. Pondok menjadi hening, barak tempat tidur santripun sepi. Tinggal dua orang bocah saja. Abdullah asik  dengan kebiasaannya menganyam daun nipah untuk dijadikan kantong. Meskipun penglihatannya cacat Abdulah sangat pandai dengan pekerjaan seperti itu, lalu dia berdiri, tangannya berusaha menggapai dinding menuju halaman, langkahnya  terus menuju halaman, sesaat dia menengok kebelakang berharap Sabarudinn mengikutinya.”Sab…ayo kita ke halaman aku mau merasakan hangatnya matahari…!” Abdulah setengah berteriak, menyadarkan Sabarudin dari lamunannya. Keduanya berjalan menuju halaman, dengan penuh kasih sayang Sabarudin menuntun tangan Abdulah dengan sabar membawanya jalan-jalan menelusuri halaman pondok yang mulai sepi.
“A…aa…eeeuuuu..” Sabaudin mengajak Abdulah berbicara. Yang diajak bicara tetap lurus pandangannya  tetapi dia paham benar apa yg dimaksud kawannya.” Sab begini saja, kita menghadap Abah minta ijin untuk mudik ke kampong dimana kita dulu pernah tinggal, Abah pasti mau menunjukannya”. Sabarudin menganggukan kepalanya, kemudian keduanya berjalan menuju rumah Abah.
“Sebenarnya Abah berat dan khawatir melepaskan kalian pulang kampung apalagi tidak ada keluarga yang kalian tuju, tapi ya sudahlah abah yakin Allah SWT tahu dengan keinginan kalian berangkatlah ke Ci Sewu dimana kalian dulu dilahirkan, berlebaran disana datangi saja Masjid Arrahman disana ada Ustadz Komar nanti berikan surat ini, kalian jangan terlalu lama  disana ya.” Abah matanya berkaca-kaca begitupun dengan Ambu. Selepas Isya keduanya Berangkat menuju Terminal terdekat.
“Bang tiketnya dua untuk ke cisewu….” Abdullah memesan tiket.” Aduh sayang nak…tiketnya sudah habis terjual dan yang tadi adalah bis terakhir, kenapa mendadak belinya ?”. Penjaga tiket geleng-geleng kepala. Dengan langkah yang letih keduanya berjalan menuju bangku tunggu penumpang dipinggir terminal. Keduanya tak lepas saling pegang erat seolah takut kehilangan satu dengan lainnya. Keduanya berfikir keras untuk bisa berangkat ke kampong tujuan.”A….aku tahu kita ke stasiun kereta saja, siapa tahu ada kereta yang bisa kita tumpangi !”. Tanpa pikir panjang Abdul mengajak Sabar untuk berangkat ke Stasiun, lumayan agak jauh jaraknya. Keduanya berdiri di pinggir jalan raya menunggu angkutan menuju stasiun, hujan gerimis tiba-tiba, Sabar mengacungkan jarinya menyetop sebuah taxi, maklum anak-anak, tidak tawar menawar mereka langsung minta diantar ke stasiun. “ Sudah sampai ni…ayo turun” Abang taxi mengingatkan keduanya. “Berapa ongkosnya bang ?” Tanya Abdul.”50 ribu” jawab si abang taxi.”Haaaa….mahal sekali bang…kami anak yatim mau pulang kampung, abang bisa kurangi gak ongkosnya ?” Abdullah menawar sambil memelas. Abang taksi diam sebentar. Diamatinya wajah Abdullah yang polos kedua bola matanya tidak bergerak, lalu tangan si Abang digerak gerakan didepan mata Abdul. “De…” suara si abang lirih…”ya bang…” jawab Abdul. “Kalian mau pulang kemana ?” Tanya Abang taxi lagi. “Kami mau pulang ke Cisewu bang, mau ke masjid Arrahman…” jawab Abdul. Sesaat abang taxi teridam, “ kenapa pulangnya ke masjid bukan kerumah…???”. Abdullah terdiam…Sabarpun hanya menunduk. “Kami sudah tidak punya keluarga bang…tapiii…kami ingin merasakan pulang kampung, dimana kami dulu dilahirkan, Abah guru kami dipondok mengijinkan kami untuk pulang dan menemui ustadz disana”. Suara Abdul menjadi serak menahan rasa sedih, rindu untuk bertemu ibu dan ayahnya abdul pun tak sanggup lagi menahan tangisnya, pilu terdengar sedu sedan akan sebuah kerinduan. Abang taxi pun ikut menitikan air mata, dipeluknya dua anak itu. Dan diapun berjanji akan mengantar jemput mereka tanpa harus bayar. Malam berjalan dibawah gerimis taxi itupun melaju mengantarkan dua kawan senasib. Disertai gembira dan rasa pilu menjadi satu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar