Translate

Senin, 28 April 2014

Legenda Lancang Kuning


Hatta,bermula dari sebuah kerajaan besar yang berpusat di Bukit Batu, Bengkalis. Kebesaran dan kejayaan panji-panji kerajaan tersebut adalah berkat kerja keras serta kejujuran dan kecintaannya kepada seluruh rakyat yang dipegang oleh Datuk Laksamana Perkasa Alam yang dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, dengan santun dan penuh hormat, Panglima Umar menyampaikan isi hatinya kepada Datuk Laksamana Perkasa Alam untuk menyunting Zubaidah, si bunga negeri. Sambil tersenyum, Datuk Laksamana pun memberikan restu. Karena mengingat jasa-jasa Panglima Umar yang selama ini telah mengabdikan dirinya pada kerajaan dengan segenap jiwa dan raganya. Maka Datuk Laksamana bertekad akan menggelar perhelatan besar-besaran pada waktu pernikahan tersebut. Diluar sepengetahuan Panglima Umar, sebenarnya sahabatnya sendiri Panglima Hasan menaruh hati yang sama pada Zubaidah si bunga negri. Otomatis kabar pernikahan dan perhelatan besar-besaran yang akan dilaksanakan oleh Datuk Laksamana Alam Perkasapun menjadi pedang penoreh luka bagi Panglima Hasan.
Bara dendam dan kebencianpun menyala dan berkobar hebat didada Panglima Hasan. Akal sehatnya telah terkalahkan dengan api cemburu dan kebencian. Siasat busuk pun langsung disusun. Dengan licik, Panglima Hasan mendatangi rumah salah seorang bomoh (dukun) kerajaan yang bernama Domo untuk menyampaikan mimpinya kepada Datuk Laksamana agar membuat Lancang Kuning (perahu) untuk mengamankan seluruh perairan.
Mengingat kerajaannya memiliki perairan yang sedemikian luas, Datuk Laksamana pun langsung setuju dan memerintahkan agar Lancang Kuning segera dibuat. Waktu terus saja berlalu, menjelang Lancang Kuning usai dibuat, mendadak tersiar kabar bahwa Bathin Sanggoro, melarang keras para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di wilayah kekuasaannya di Tanjung Jati.
Datuk Laksmana pun langsung memerintahkan Panglima Umar untuk mengecek kebenaran kabar tersebut. Panglima Umar yang sebenarnya ingin mendampingi sang istri saat melahirkan anak pertamanya, akhirnya dengan perasaan berat memutuskan untuk berangkat. Setelah mengarungi lautan selama beberapa hari, akhirnya, Panglima Umar beserta pasukan pilihannya menapakkan kaki mereka di Tanjung Jati. Ketika kabar itu ditanyakan kepada Bathin Sanggoro, dengan cepat lelaki bertubuh kekar itu menyahut “Tak ada niatan atau kata-kata terlontar yang menyatakan hamba aku melarang nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati”.
Kata-kata itu membuat Panglima Umar harus berpikir keras untuk mengurai makna yang terkandung di dalamnya. Ketika akan pulang, Bathin Sanggoro pun berbisik; “Panglima, tolong selidiki dari mana asal muasalnya berita tersebut”.
Dalam perjalanan pulang, Panglima Umar langsung berkeliling untuk mencari si pembuat berita bohong tersebut. Dan tak terasa, sebulan sudah ia dan pasukan pilihannya melanglangbuana. Ketika malam purnama penuh, nun jauh di sana, semua penduduk dan pemuka kerajaan Bukit Batu berbanjar dengan tertib di tepi laut untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning. Semua bergembira, kecuali, Zubaidah yang dengan setia menanti suaminya yang belum juga kembali dari menunaikan tugasnya.
Sementara itu, beragam keperluan yang berhubungan dengan peluncuran Lancang Kuning telah disiapkan dengan saksama. Upacara yang dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning yang dilakukan oleh Datuk Laksamana dan dilanjutkan oleh Panglima Hasan lalu pengasapan akhirnya, semua yang hadir diminta untuk berdiri di samping Lancang Kuning. Berbarengan dengan hingarnya bebunyian yang ditabuh, maka, semua yang memegang dinding Lancang Kuning diminta untuk mendorongnya ke laut lepas. Tetapi apa daya, walau dilkakukan berkali-kali,  Lancang Kuning tak juga bergeming dari tempatnya.
Dengan muka merah padam, Bomoh Domo datang bersembah pada Datuk Laksamana sambil berbisik; “Ampunkan hamba tuanku, Lancang Kuning ternyata meminta korban perempuan hamil sulung”. Setelah termenung beberapa saat, akhirnya, terdengar suara lantang Datuk Laksamana “Peluncuran Lancang Kuning ditunda sampai datang waktu yang tepat!”. Semua yang hadir, termasuk para pemuka kerajaan pun dengan tertib kembali ke rumahnya masing-masing. Alih-alih kembali, Panglima Hasan yang sudah dirasuk rindu dendam malahan menemui Zubaidah. Didapatinya Zubaidah sedang merenung, terkejut dan langsung bertanya “Mengapa engkau kembali lagi Panglima Hasan?”
Bukannya menjawab, Panglima Hasan malahan balik bertanya dan merayu Zubaidah “Apa yang kau tunggu dan harapkan Zubaidah?, Panglima Umar tak mungkin pulang lagi!, biarkanlah aku yang menjadi ayah dari anak yang tengah kau kandung itu!”.
Zubaidah pun marah dan langsung menyergah “Cis … tak sudi aku menjadi istri dari seorang pengkhianat!”. Panglima Hasan sontak marah dan mengancam Zubaidah “Jika engkau masih menolak, maka tubuhmu akan aku jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut!”, sahut Panglima Hasan tak kalah sengit sambil memberikan tanda kepada beberapa
begundal setianya.
Apa daya tenaga seorang wanita yang tengah hamil tua. Dengan mata tertutup, Panglima Hasan langsung mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan memerintahkan para begundalnya untuk mendorong perahu besar tersebut ke laut lepas. Ajaib! meskipun hanya didorong oleh beberapa orang saja, Lancang Kuning berhasil masuk ke laut lepas dengan meninggalkan tubuh Zubaidah yang luluh lantak berserakan di tepian pantai.
Berbarengan dengan lunas Lancang Kuning menyentuh air laut, cuaca yang semula terang  benderang sontak berubah gelap. Hujan mendadak turun bagaikan ditumpahkan dari langit disertai dengan kilatan petir yang berlompatan sambar menyambar dan angin yang menderu menakutkan!.
Sementara itu, Panglima Umar mulai merapat ke Pelabuhan Bukit Batu. Tanpa berlama-lama, Panglima Umar pun segera melangkah pulang untuk menemui istrinya. Sesampainya di rumah Panglima Umar tidak mendapati istrinya, rumah dalam kondisi kosong. Kerinduan yang sudah membuncah didadanya gagal terlontarkan karena yang dirindu tak ditemuinya, sesaat Panglima Umar berpikir dan menduga-duga kemana gerangan istrinya pergi. “Jangan-jangan Zubaidah menantiku di pelabuhan”, demikian bisik hati Panglima Umar yang langsung melangkah menuruti kata hatinya. Tak lama kemudian ia bertemu dengan Panglima Hasan yang menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana. Dengan perasaan tak karuan dan tanpa banyak bertanya lagi Panglima Umar langsung berlari ke tepian pantai yang menjadi tempat peluncuran Lancang Kuning. Tubuhnya bergetar hebat!, segenap gigi dan rahangnya bergemeretak menandakan emosi dan kemarahan yang tak dapat tertahankan lagi, kedua kepalan tangannya erat menggenggam, duka, sedih, amarah dan segala macam rasa berkecamuk di otak dan pikirannya, saat melihat kenyataan istrinya tercinta telah tewas dalam kondisi yanga sangat mengenaskan. Disapunya darah yang belum sempat mengering ditanah dan di usapkan kewajahnya sambil berteriak dengan lantang; “Aku akan membuat perhitungan pada Datuk Laksamana!”
Belum seberapa jauh melangkah, Panglima Umar melihat Datuk Laksamana berjalan ke arahnya. Tanpa banyak tanya, Panglima Umar yang sudah dirasuki dendam langsung menghujamkan pedangnya ke perut Datuk Laksamana yang langsung tewas seketika. Pada helaan napas yang ketiga, datang Pawang Domo yang menceritakan kejadian sebenarnya.  Panglima Umar pun bergegas mencari musuhnya, Panglima Hasan. Dari kejauhan, tampak Panglima Hasan telah bersiap-siap untuk melarikan diri dengan menggunakan Lancang Kuning. Tetapi sayang, sebelum tali tambat terlepas, Panglima Umar telah berhasil mendekati dan berteriak dengan lantang sambil menghunus pedangnya “Malam ini, siapa di antara kita yang akan mati dengan disaksikan oleh seluruh penduduk negeri!”.
Pertarungan sengitpun terjadi, dengan segenap kemarahan dan dendam Panglima Umar menerjang Panglima Hasan. Panglima Umar terus menyerang dengan ganas tanpa memberi kesempatan pada musuhnya untuk dapat membalas serangannya. Hingga akhirnya Panglima Umar berhasil membabatkan pedangnya kebagian perut dan dada Panglima Hasan darah segarpun menyembur! Tubuh Panglima Hasan oleng tanpa dapat dikendalikan lagi. Perlahan, tubuh itu mulai lunglai, berlutut dan akhirnya terjatuh ke laut lepas. Panglima Umar tertegun sendirian di atas kapal  Lancang Kuning lalu ia berteriak dengan lantang:
“Aku tak mungkin kembali ke Bukit Batu karena telah membunuh Datuk Laksamana akibat fitnah keji yang telah dilakukan  Panglima Hasan yang juga baru saja kubunuh …! karena itu, aku akan pergi selama-lamanya dengan menggunakan Lancang Kuning!”. Lancang Kuningpun mulai bergerak perlahan ke tengah lautan terus bergerak hingga sampai ke Tanjung Jati.
Menurut tutur, ketika sampai di Tanjung Jati, Lancang Kuning disapu oleh angin puting beliung hingga karam. Panglima Umar dan Lancang Kuning terkubur di tengah laut, sementara, kerajaan Bukit Batu pun mulai mundur dan akhirnya hilang ditelan Zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar