Translate

Jumat, 18 April 2014

RUMAH KUNO (Cerita bersambung)

         Pertemuan di pinggir danau

Hari Minggu yang cerah, Matahari pagi bersinar dengan cemerlang. Udara begitu segar dan sangat menyenangkan diiringi suara burung bercicit ramai menyambut pagi. Hari Minggu pertama kami menempati sebuah rumah kuno peninggalan jaman Belanda dulu, yang tentu saja usianya sudah sangat tua, lebih tua dari usia keluargaku sendiri. Tetapi rumah ini sangat terawat dan sangat layak huni, halaman depan dan belakang sangat luas dan asri, apalagi lingkungan tempat berdiri rumah ini masih berada dilingkungan pedesaan yang sangat sejuk. Konon kabarnya rumah ini bekas tempat tinggal seorang pejabat pemerintahan di jaman kolonial Belanda dulu. Penghuninya beberapa kali ganti karena rumah ini adlah rumah dinas pada jamannya.
Disekitar  rumah masih terhampar luas perkebunan teh, pada sisi timur perkebunan ini ada sebuah danau kecil buatan, sangat dekat lokasinya dengan hutan lindung yang sangat lebat dan asri. Pemandangan disekitar danau sangat indah,  meskipun tidak terawatt dengan baik tetapi tempat itu masih sangat menyenangkan untuk dipakai bersantai sekedar melepas lelah atau sengaja berjalan-jalan untuk menikmati indahnya alam. Aku bersama keluarga sebenarnya sudah lama menginginkan tinggal  seperti ini, apa lagi sejak Ayah pensiun dan aku juga sudah beres kuliah keinginan kami untuk pindah tempat tinggal kepedesaan semakin kuat. Tetapi baru kali ini terlaksana, itupun berkat jasa mang Jojo sopir pribadi Ayah yang memberitahukan kalau dikampungnya ada satu rumah kuno yang mau dijual oleh pemiliknya. Entah bagaimana awal ceritanya kalau rumah kuno peninggalan jaman Belanda ini menjadi milik pribadi salahsatu penduduk kampung Cimeureun ini. Tidak penting bagi kami yang pasti kami sudah memiliki dan menghuni tempat ini dan kami sangat menyukainya.
Orang tuaku punya bisnis di kota, yang lebih dari cukup untuk menopang kehidupan kami ditempat ini, bisnis yang sudah dijalankan sejak aku masih kecil. Tak heran jika sekarang aku juga sudah tidak perlu susah payah tinggal melanjutkan saja. Biasanya seminggu sekali aku ke kota sekedar untuk mengecek perkembangan bisnis tersebut dan melakukan pertemuan singkat dengan para karyawan dan orang-orang yang sudah menjadi kepercayaan ayah untuk mengelola bisnisnya. Aku mungkin termasuk orang yang beruntung, selesai sekolah tidak harus pusing tujuh keliling untuk urusan mencari kerja. Allhamduliilah aku sangat bersyukur dengan kondisi ini.
Usai mandi pagi, aku segera bersiap daengan pakaian olahraga, aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati indahnya pagi. Setelah berpamitan pada Ayah dan Ibuku akupun berlari-lari kecil menyusuri jalanan pedesaan,”hmmmmm….segar sekali, sangat berbanding terbalik dengan lingkungan perkotaan yang penuh sesak dengan bangunan tinggi dan pertokoan, ditamabah macetnya jalanan dan hiruk pikuknya orang yang setiap hari sibuk dengan urusan hidupnya masing-masing.
Aku sengaja mengambil jalan lewat belakang rumah karena lebih dekat jaraknya untuk  menuju ke danau kecil dipinggir hutan lindung itu. Danau itu walaupun danau buatan bukan buatan jaman sekarang tetapi sama buatan pada jaman Belanda juga, katanya dulu danau itu difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik bagi desa Cimeureun ini. Sayang sekarang sudah tidak berfungsi lagi.
 Sesampainya disana, ah kebetulan sekali sedang banyak orang yang berjalan-jalan dan ada beberapa orang tua juga yang sedang asik memancing didanau ini. Aku berusaha seramah mungkin setiap berpapasan dengan orang-orang disini. Semuanya ramah juga ternyata membuat aku lebih mudah bersosialisasi. “Namanya saya Jati pak, lengkapnya Jati Rama”, aku menyodorkan tangan saat bapak yang sedang asik memancing iru menolehku dan menyapaku. Aku duduk jongkok disebelahnya, dan bapak inipun memperkenalkan dirinya, namanya pak Sumarna, beliau asli orang kampung Cimeureun. Usianya belum terlalu tua sebenarnya kalau aku taksir sekitar 43 atau 45 tahunan, tetapi karena pekerjaan sehari-harinya sebagai petani jadi ya agak nampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Asik juga ternyata ikut mancing dengan pak Sumarna, sesekali beliau bertanya tentang keluargaku dan satu pertanyaan yang aku rasa agak ganjil keluar dari mulutnya”Dek Jati….kenapa mau membeli rumah kuno bekas Belanda itu, apa tidak ada pilihan lain untuk dibeli dan di tempati?”, aku agak tercenung mendengar pertanyaan itu,lalu akupun balik bertanya sama pak Sumarna”mmm….memang kenapa pak dengan rumah Belanda itu?”. Yang ditanya balik hanya tersenyum mesem saja sambil menjawab pendek”o…tidak apa-apa hanya Tanya saja”.
Hari mulai agak panas dan pak Sumarna mengajak aku untuk pindah mencari lokasi yang lebih teduh untuk memancing. Aku menurut saja dan mengikuti langkahnya menuju sisi barat yang ada sebuah pohon kayu rindang dan akarnya menyembul kepermukaan tanah, sebagian lagi akarnya masuk ke danau kecil itu. Air danau nampak bening dan jernih, beberapa tumbuhan air menghiasi pinggiran danau dan ada segerombol teratai dengan bunganya yang putih bersih di bagian agak tengan danau. Beberapa burung pemakan ikan berseliweran terjun ke air memburu ikan-ikan kecil seperti yang berlomba menyelam.”Hmmmm…sayang aku lupa membawa kamera…”aku berguman sendiri, sangat merasa menyesal tidak bisa mengabadikan moment ini. Pak Sumarna nampaknya sudah mulai beres-beres peralatannya,”Sudah mau pulang pak?” tanyaku.”Iya dek Jati sebentar lagi lohor(Dzuhur dalam istilah Sunda), dan di tempat ini biasanya saat tengah hari sepi karena semua orang akan kembali kerumah masing-masing”. Jelas pak Sumarna. Ada sesuatu yang sebenarnya ingin pak Sumarna sampaikan padaku mengenai tempat ini, hanya saja mungkin beliau tidak ingin dianggap orang percaya takhayul.”Pak kalau boleh saya tahu memang kalau siang hari setelah lohor ada apa ditempat ini? Ada pantangan apa maksud saya”. Aku menccoba menebak-nebak. Pak Sumarna hanya tersenyum kecil sambil matanya menatap jauh ketengah danau. Kemudian beliau memasukan semua ikan hasil pancingannya kedalam ember kecil dan beranjak hendak pergi.”Dek Jati mau ikannya? Kalau mau kita bagi dua saja”. Aku Cuma geleng kepala dan menucapkan terimakasih. Kenapa pak Sumarna malah mengalihkan pertanyaanku. Aku semakin penasaran, akan aku tunggu sampai beberapa jam kedepan sebenarnya ada apa ditempat ini, bathinku.”Dek Jati belum mau pulang? Jangan lama-lama disini ya, apalagi sampai sore hari, sebaiknya kalau sudah tidak ada orang disini segera pulang saja, inikan masih hutan khawatir ada binatang buas”. Pak Sumarna mengingatkan ku. Akhirnya aku paham juga, iya memang masih hutan disini, wajar saja kalau ada binatang buas.”Ah…aku saja yang otak horror, kebanyakan menonton filem horror Jepang jadi begini”. Aku jadi mengomeli diriku sendiri.
Setelah pak Sumarna pulang aku terus duduk dibawah pohon ini sambil melempar-lempar kerikil kecil kepermukaan air danau. Bener juga, orang-orang mulai sepi satu persatu pulang meninggalkan tepian danau ini. Padahal hari masih siang, tengah hari bolong. Angin sepoi-sepoi meniup wajahku, menciptakan suasana kantuk, dan akupun terkantuk-kantuk dibuatnya. Entah berapa lama aku baru tersadar hari mulai beranjak sore, Matahari sudah teduh pertanda mulai condong ke barat. Aku benar-benar ketiduran…!. Tanpa tengok kanan kiri aku segera bangkit dan berlalu dari pinggir danau. Suasananya sangat sepi, sesekali terdengan suara burung hutan seperti sedang menebang pohon”crung…crung…crung..!” begitu suaranya. Air danau nampak beriak kecil dipermainkan tiupan angin, sesekali ada lontaran kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan ikan. Aku terus berjalan, tetapi ada keinginan seakan memaksaku untuk menengok kebelakang, ke tempat dimana aku tadi duduk dengan pak Sumarna dan aku ketiduran disitu. Perlahan, aku menengok kebelakang dan….”Agh…!!!” aku agak tersentak dan kaget, karena…ditempat itu ada sesosok orang sedang duduk di akar pohon besar itu, dia memunggungiku, aku berusaha menajamkan penglihatanku,” tadi…tadi…disana tidak ada siapa-siapa, lalu….orang itu darimana datangnya dan kapan???!!!”.Aku jadi bingung sendiri. Meskipun agak sedikit bingung dan takut aku berusaha mengawasi orang itu, ternyata seorang pria tua, dengan pakaian hitam dan celana hitam, rambutnya agak sedikit gondrog dan sudah memutih, dia asik duduk sambil memainkan kedua kakinya dipermukaan air, suranya terdengar kecipak kecipuk.
Rupanya dia merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba saja kepalanya menoleh ke arah ku, dan….”Argghhh…matanya putih semua, seddangkan kulit wajahnya seperti penuh dengan luka bakar!, sangat mengerikan, dia menyeringai kepadaku!”. Jantungku rasanya mau berhenti, beberapa langkah aku terjajar kebelakang saking kagetnya, dan tak ingin banyak berfikir aku segera membalikan tubuhku dan berlari meninggalkan temapat itu. Sepanjang jalan pikiranku terus terbayang pria tua itu atau lebih pantasnya disebut kakek tua, dengan matanya yang putih dan kulit mukanya yang keriput dan terkelupas seperti luka bakar.
Sesampainya dirumah, aku buru-buru masuk kamar mandi ingin menyegarkan badan dan merifreh  pikiran supaya bisa lupa dengan bayangan kakek tua tadi. Usai mandi aku duduk diruangan tamu, Ayah dan Ibuku sedang asik  menonton acara televisi. “jati seharian tadi kemana, jalan-jalan kok lama sekali, nyasar kamu?” Ayah melirik ke arahku sambil bertanya setengah meledek. Ibu juga ikut menimpali”Nyasar… pasti ke rumah gadis desa….!”. kedua orang tuaku malahan asik meledek aku yang masih terus berpikir dengan sosok kakek tua itu. Akhirnya aku mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuaku kalau aku tadi bermain ketepian danau dipinggir hutan lindung dan bertemu dengan kakek tua yang menyeramkan itu. Ayah dan ibuku malahan tertawa dan terus meledek aku, katanya aku ini kebanyakan menonton filem horror Jepang, ya akhirnya begitu, sedikit-sedikit hantu.
Aku cuma bisa cemberut saja tidak ingin menimpali ledekan Ayah dan Ibuku. Lapar juga ternyata. Aku menggeloyor ke meja makan dan menyantap makanan yang sudah disiapkan Ibu, Si Lintar loncat kepangkuanku, dia menggesek-gesekan kepalanya keperutku. Lintar adalah kucing kesayanganku, bulunya tebal berwarna abu, hidungnya pesek sekali hampir sejajar dengan jidatnya, kupingnya lebar dan pendek, sedangkan ekornya sangat besar ditumbuhi bulunya yang lebat seperti sebuah kamoceng.
Dia selalu saja menemaniku makan sesekali dia suka menggigit-gigit lenganku yang sedang asik menyuap makanan, dikiranya aku sedang mengajaknya bercanda. Selesai makan aku malas pindah tempat duduk sambil memainkan kepala Lintar aku mencoba melupakan bayangan kakek tua yang menakutkan itu, sulit sekali seolah-olah bayangan kakek itu terus menempel dimemori otakku.
Hari menjelang magrib, bi Cucum menyalakan lampu ruangan, dan mang Adar suaminya sedang menutup-nutup pintu.”Dar pintu halam depan jangan dulu di kunci, saya ada keperluan kerumah pak RW sehabis magrib!” terdengar suara Ayah mengingatkan mang Adar.”Iya siap pak!” jawab mang Adar dari teras halaman depan. “Den Jati..kok masih duduk di situ sih, biasanya segera berwudhu kalau menjelang magrib, ayo sana wudhu dulu sebentar lagi adzan magrib!” bi Cucum menegurku yang masih bermalasan dikursi sambil memeluk Lintar dipangkuan. Tiba-tiba saja seperti ada angin masuk keruangan tempat aku duduk lampu diatas meja makanpun agak bergoyang sedikit keras ayunannya, sekelebat seperti ada bayangan orang masuk dan tercium bau yang tidak sedap seperti bau sampah busuk.”Miowwww….!!!!” Lintar tiba-tiba saja lomcat dari pangkuanku dan menubruk gelas bekas aku minum diatas meja, “PRANK!!!!” gelas jatuh dan beberapa piring kecil ikut terjatuh pecah dilantai. Lintar lari ke pojiok ruangan, badannya ditekuk dan bulunya merinding seperti ketakutan, lampu ruangan berkedip cepat beberapa saat seperti mau mati. Aku dan bi Cucum saling pandang tanpa terucap sepatah katapun…..

Mimpi yang berulang

Malam tanpa terasa terus merayap, menyelimuti alam beserta pengisinya. Udara yang dingin memaksaku untuk bergulung didalam selimut tebal. Lintar yang biasanya ikut tidur disampingku kini malahan tidak mau diam terus saja mengeong, sesekali dia mencakar-cakar kearah depan tanpa jelas apa yang dicakarnya, kadang dia tiba-tiba lompat kebelakang punggungku dan bersembunyi rapat, nafasnya terdengar seperti orang ngorok, sampai suatu saat dia melompat lagi sambil mengeong keras seperti ketakutan. Agak kesal aku melihatnya karena jadi mengganggu tidur.”Lintar diam kenapa kamu ini? Aku bangun dan mengambil Lintar lalu aku keluar kamar dengan niat memasuka Lintar kedalam kandangnya, berisik sekali kucing ini, tidak biasanya dia begitu. Kandang Lintar terletak disamping dapur. Agak jauh dari kamar  tidurku harus melalui ruangan keluarga dan agak berbelok kekanan.
Lampu ruangan sudah diganti dengan lampu kecil, cahanya agak muram. Ayah dan Ibuku juga sudah lelap, tidak jauh beda dengan mang Adar dan bi Cucum. Pasti mereka sudah tertidur, suara jam besar yang terletak di sudut ruangan terdengar dengan jelas, membuat suasana ruangan jadi agak sedikit seram. Aku berusaha fokus untuk tidak memikirkan hal-hal aneh dan menakutkan. Kejadian tadi magrib ah, sudahlah hanya sedikit angin yang mengejutkan. Aku terus melangkah menuju keruangan belakang rumah, Lintar diam dalam gendonganku. Sesampainya dipintu yang menuju kearah dapur dan kandangnya Lintar, tiba-tiba saja pintu terbuka sendiri pelan-pelan mengeluarkan suara menderit, ughhh…aku agak kaget dan menahan nafas, belum selesai rasa kagetku secara mendadak pintu terbanting keras dan menutup kembali! Agggghhhhh….!” Aku tidak bisa menahan suaraku dan berteriak agak keras. Lintar aku dekap kuat dan kucing kesayanganku itu jadi gelisah dalam gendonganku.
Suasana menjadi hening kembali hanya suara jangkrik dan binatang malam diluar bersahutan. Aneh suara pintu terbanting begitu keras tetapi penghuni rumah yang lain tetap nyenyak tidur seolah tek terusik sedikitpun. Sebenarnya aku merasa agak takut dan merinding, tetapi tak membuat urung niatku, sesegera mungkin aku masuk keruangan dimana kandang lintar ditempatkan dan akupun segra berbalik meninggalkannya untuk kembali kekamarku. Begitu sampai aku didepan pintu kamarku, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki diseret, entah dimana”sreet…sreeet…” suara itu kembali terdengar. Reflek aku menyentuh tombol lampu ruangan, agar terang benderang. Dan suara itupun hilang. Jam sudah menunjukan dini hari,ah sudahlah aku mau tidur!. Secepatnya aku masuk kamar dan menggulung tubuh dengan selimut tebal. Perlahan tapi pasti, aku mulai masuk kea lam tidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja aku kembali terbangun mendengar suara Lintar mengeong-ngeong keras dan….ah…bagaimana caranya dia bisa keluar sendiri dan melewati dua pintu ? Lintar sudah berada dikamarku! dia terus mengeong keras dan tidak mau diam! Aku duduk sambil menahan rasa kantuk yang masih menggayuti kelopak mata. “Lintar…kenapa sih kamu? diam hey!” Aku mulai kesal dengan kucing kesayanganku itu, tapi kucing itu tetap saja dengan ulahnya. Lampu dikamarku mendadak berkedip cepat seperti mau putus, lalu menyala lagi dengan sangat terang dan terus begitu sampai beberapa kali, aku mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, aku bangkit dari duduk maksud mau membuka pintu kamarku agar tidak terlalu seram, tapi…tiba-tiba saja lemari pakaianku yang berhadapan dengan tempat tidurku bergetar keras! Seperti diguncang-guncangkan! Aku terkesiap kaget bercampur rasa takut, bulu roma ditubuhku merinding semua inginnya berteriak memanggil Ayah dan Ibuku, tetapi suaraku seperti hilang begitu saja! lampu kamarku kian mengecil cahayanya….diluar dugaanku dari pintu lemari itu muncul sepasang tangan keriput kering seperti bekas terbakar menggapai-gapai ke arahku disertai suara nafas berat dan parau…tangan itu semakin mendekat ke tubuhku, keringat dingin mengalir deras aku berusaha untuk berdoa…tetapi salah terus dan bibirku seperti terkunci!!!....AAAAAAAGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!, akhirnya aku bisa berteriak keras ! BUGH! Tubuhku terbanting kelantai, lampu kamarku kembali terang benderang seperti biasa. Punggungku terasa sakit bekas terbanting tadi. Lintar kucingku tidak ada diruangan kamar, “kemana dia???”. Pintu kamarku masih tertutup rapat dan lemari itu….masih tetap tegak ditempatnya.” Mimpikah ini” aku bergumam sendiri, perlahan aku bangkit dan menghampiri meja tempat aku meletakan televisi. Aku nyalakan untuk membuang rasa takut dan kaget tadi. Sudah hampir jam empat pagi ternyata, sebentar lagi subuh. Di luar sana terdengar suara bi Cucum sedang mengaji, dan sayup-sayup mang Adar sedang wirid. Ah….lega rasanya, sudah ada yang bangun dirumah ini.
Tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk dari luar,”ya…siapa???” tanyaku dari dalam. Bi Cucum rupanya menghantarkan minuman hangat buatku. “Tumben kok nonton TV sepagi ini?” Tanya bi Cucum kepadaku. “Iya bi susah tidur nih, terbangun terus, makasih minumannya bi”, jawabku. Bi Cucum memang sealu begitu kalau mendengar aku sudah bangun jam berapapu pasti akan membuatkan aku minum, terkadang suka menawarkan camilan juga biar gak bengong katanya.
Perasaanku mulai lega, aku segera pergi kekamar mandi mau berendam air hangat biar sehabis solat subuh aku bisa tertidur lelap. Biar saja urusan nengok kantor Ayah agak siang saja nanti berangkatnya, tidak akan nyaman nyetir sambil ngantuk.
Menjelang pagi akupun tertidur lelap sekali, balas dendam dengan tidur semalam yang terganggu oleh mimpi yang menakutkan itu. Sekitar jam sepuluh pagi aku baru berangkat ke kota.(BERSAMBUNG............)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar