Translate

Rabu, 07 Agustus 2013

SATU HARI MENJELANG LEBARAN

Kabut dikaki gunung mulai menebal, udara dingin musim kemarau terasa mendesak seluruh tubuh, kalau saja tidak biasa hidup dikaki gunung pasti sudah menggigil. Angin senja mulai bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan disekitar lembah itu. Sinar sang surya perlahan memerah ditepi kaki langit sebelah barat.
Widharma sedang bersiap-siap turun ke kampung setelah selesai mencari rumput untuk pakan ternak peliharaannya. Sudah menjadi pekerjaannya setiap hari, selesai mengontrol sawah dan kolam ikannya, dia akan melanjutkan mengontrol kebun dan mencari rumput. Letak kebunnya cukup jauh dari kampun berjarak sekitar empat kilometer berada di punggung gunung. Kebun sewaan dari Perum Perhutani setempat.Biasanya anak semata wayangnya suka ikut kemanapun Widharma pergi, terkecuali saat sekolah. Anaknya laki-laki baru berumur delapan tahun kelas dua SD. Dana namanya,semenjak ditinggal ibunya pergi bekerja jadi TKW ke Arab Saudi Dana banyak berubah agak bandel dan susah sekali diatur. Terkadang untuk urusan mandi saja harus dikejar-kejar ayahnya. Yang lebih kasihan lagi anak ini jadi susah makan bukan tidak ada makanan tetapi sulit sekali diajak makan seolah nafsu makannya hilang entah kemana. Badannya kurus, Widharma sudah mencoba berbagai cara agar anaknya mau makan dengan normal seperti dulu saat ibunya masih ada disampingnya.
Pikulan penuh rumput hijau dan segar berayun seiring dengan langkah Whidharma menyusuri jalan setapak yang menurun menuju perkampungan. Keringatnya mengalir membasahi wajah dan tubuhnya.Meskipun saat berpuasa Widharma tidak menjadi malas untuk melakukan pekerjaan rutinnya setiap hari. Sambil berjalan tak terasa pikirannya jauh menerawang kemasa-masa lalu saat masih berkumpul dengan istrinya, tak terasa sudah tiga tahun dirinya hidup tanpa kehadiran istrinya. Hanya telpon dan sms saja yang dia terima sebagai teman rindunya, dan setiap bulan menerima kiriman uang dari Arab Saudi hasil kerja istrinya. Dengan uang itulah Widharma memperbaiki rumah dan mengolah sawah serta segalanya. Allhamdulillah semuanya manfaat tidak ada uang yang terbuang percuma.
Tanpa terasa sudah sampai dibelakang rumah, disamping kandang sapi perah peliharaannya. Diletakan pikulan penuh rumput sambil menarik nafas panjang dia duduk dibangku kayu dibawah pohon jeruk yang ada di dekat pintu menuju dapur. Buahnya sedang ranum sesaat lagi siap dipanen.
“Dharma…!!!” terdengar suara ibunya memanggil namanya dari jauh, sedikit agak malas karena rasa cape, diapun bangkit dari duduknya menuju rumah ibunya yang hannya terhalang batas halaman saja dengan pagar perdu.”Dharma tuh lihat anak kamu si Dana dari tadi diajak pulang gak mau malahan diam saja dipinggir tanggul sungai, padahal sudah tidak ada temannya yang bermain disana, belum mandi sore lagi. Haduuuuhhhhh….ema mah suka pusing lihatnya susah pisan(sekali_sunda)diaturnya anak kamu mah”. Ibunya nyerocos tanpa memberi kesempatan untuk bicara. Tanpa banyak pikir Widharma segera pergi ketanggul sungai mencari Dana anaknya.
Benar saja sesampainya disana, anaknya sedang duduk dipinggiran tanggul entah apa yang sedang dipikirkannya, wajah polosnya Nampak murung. Rambutnya kecoklatan terbakar matahari. Disampingnya tergeletak gulungan benang bekas main layang-layang. Dihampirinya dengan penuh kasih sayang.”Sedang apa nak…pulang yu…sudah sore” sapa Widharma kepada anaknya. Dana menatap wajah ayahnya, mata beningnya Nampak layu seperti lelah. Ada air menggenang dibola mata itu, bibirnya bergetar seperti ada yang ingin di ucapkan tetapi tidak terucap hanya tangisan terisak, Dana memeluk ayahnya.”sssssttttt….cup…cup…ada apa nak kita bicara nanti dirumah ya…” Whidarma menggendong anaknya dalam pangkuan. Tak perduli badan anaknya yang mulai tinggi hingga kakinya menjuntai saat digendong.
Sesampainya dirumah Widharma memasak air untuk mandi anaknya dan dirinya sendiri, berharap dengan mandi air hangat pikiran mereka berdua bisa lebih tenang dan segar. Sebenarnya Widharma tahu benar dengan apa yang terjadi pada anaknya, karena sudah beberapa kali merajuk seperti itu. Hanya saja terkadang Widharma bingung harus memberi alasan apa lagi saat anaknya merajuk merindukan ibunya. Menjanjikan kepulangan ibunya...? nanti anaknya akan tambah merajuk karena sudah sering dijanjikan seperti itu, sedang ibunya tak kunjung datang.
Selesai mandi widharma menyalakan lampu rumah, hari mulai masuk ke magrib sambil berbuka puasa hari terakhir Widharma menyuapi anaknya. Allhamdulillah puasa tuntas sebulan penuh.”Pak…kalau ibu kapan pulangnya…besok lebaran pak…” tiba–tiba Dana menanyakan lagi kepulangan ibunya. Widharma menghela nafas dalam.”Sabar nak ibumu belum bisa pulang, bapak juga ingin berkumpul dengan ibu seperti halnya kamu, apa lagi saat lebaran seperti ini”. Suara Widharma terdengar berat menahan perasaan sedih yang bergejolak di dadanya. Dipeluknya Dana dengan sepenuh rasa, ada air mata yang memaksa menetes dari sudut matanya. Air mata  kerinduan yang tak terbataskan.Hanya karena satu alasan saja “ingin hidup layak” Tarliah istrinya tidak bisa dilarang tetap memaksakan pergi untuk bekerja di Arab Saudi. Masih terngiang di telinganya kata-kata terakhir saat mau berangkat”saya mau buktikan sama tetangga kalau saya juga bias hidup layak dengan usaha dan tenaga saya, meskipun saya punya suami miskin”.Air mata Widharma semakin deras menetes, suara takbiran dari mesjid semakin menyayat hatinya.” Andai saja aku bias memberi harta yang cukup mungin istriku tidak akan pergi sejauh itu demi mencari harta” Widharma mengutuki dirinya, ”andai saja kamu bisa menerima suamimu apa adanya, hidup sederhana, mungkin kita tak akan berpisah jauh...lihatlah anakmu merindukanmu... tanpa aku tahu harus berbuat apa, pulanglah Tarliah...aku dan anakmu merindukanmu” Semakin erat pelukannya. Anak dan bapak menangis bersama diantara gema suara takbir menjelang lebaran besok hari. Diluar hujan gerimis disertai angin, seolah ingin melarutkan kesedihan diantara bongkahan kerinduan.

Selamat Iedul Fitri Widharma. . .
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar