Translate

Selasa, 29 April 2014

Legenda Ciung Wanara (Cerita rakyat Pasundan)


Lanjutan

Kini Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, dengan kemampuan ilmu kanuragan yang cukup tinggi, berkat bimbingan kedua orangtua angkatnya dan juga Nagawiru. Ayam jantan kesayangannya tidak pernah jauh dari dirinya, kemanapun pergi selalu saja dibawa menyertai. Suatu hari Ciung Wanara berpamitan kepada kedua orang tuanya, ia menyampaikan keinginannya untuk pergi ke Galuh ingin menemui sang Raja. Naluri seorang anak tidak dapat dihalangi oleh apapun, meskipun dirinya belum tahu yang sebenarnya tetapi nuraninya tetap mengajak berangkat untuk menjumpai sang Raja galuh. Ciung Wanara sangat memahami tidak mudah baginya untuk bisa bertemu dengan Raja Galuh, diapun memutar otak mencari cara untuk bisa melaksanakan keinginannya.
Berangkatlah Ciung Wanara ke kerajaan Galuh dengan membawa serta ayam jantan kesayangannya. Sesampainya di Galuh, Ciung Wanara bertemu dengan dua orang patih yang bernama Purawesi dan Puragading. Kedua orang patih keraton itu tertarik melihat penampilan ciung Wanara, yang membawa-bawa ayam jantan, akhirnya kedua patih itu menghampiri dan mengajak adu tanding dengan ayam miliknya masing-nasing. Ciung Wanarapun tidak menolak ajakan kedua orang patih tersebut, maka terjadilah pertandingan sabung ayam di tengah alun-alun kota Galuh. Nasib baik berpihak pada Ciung Wanara, ayam jantan kesayangannya memenangkan pertandingan dan ayam kedua patih tersebut kalah sampai mati.
Karena pada masa itu pertandingan sabung ayam sedang disukai dan digandrungi masyarakat kota Galuh, dengan serta merta kemenangan Ciung Wanara atas ayam milik kedua patih tersebut segera tersiar ke seantero kota Galuh hingga terdengar sampai kekeraton. Bahwa di kota ada seorang pemuda tampan bernama Ciung Wanara memiliki seekor ayam jantan yang tangguh. Rajapun mengutus Ki Lengser untuk mencari pemuda tersebut. Takdir telah mempertemukan antara ayah dan anak yang selama ini terpisah oleh fitnah jahat perbuatan Dewi Pangrenyep. Ki Lengserpun tanpa harus bersusah payah berhasil bertemu dengan Ciung Wanara, yang kemudian diajaknya untuk menghadap Sang Prabu Barma Wijaya Kusumah. Pucuk dicinta ulampun tiba, hati Ciung Wanara sangat bahagia dan gembira, karena tujuannya untuk bertemu dengan Raja Galuh akhirnya terwujud tanpa harus menemui banyak halangan ataupun rintangan.
“Anak muda siapa namamu dan dari mana asal mu?” Sang Prabu segera memeriksa dengan siapa ia berhadapan saat ini. Ditatapnya wajah pemuda tampan dengan penampilannya yang sangat sederhana tetapi tetap memikat siapapun orang yang memanndangnya. Semakin ditatap semakin terasa ada getaran yang tak bisa diterjemahkan oleh kata-kata. Sang Prabu merenung dalam sambil terus menatap pemuda yang duduk bersimpuh dihadapannya. “Nama saya Ciung Wanara kanjeng Prabu, saya berasal dari dusun Gegersunten, anak angkat dari Aki dan Nini Balangantrang”. Setelah mendapat cukup penjelasan dari pemuda yang duduk dihadapannya, sang Prabu Barma Wijaya Kusumahpun melanjutkan niatnya untuk mengajak pertandingan sabung ayam dengan Ciung Wanara. Dan ajakan itupun disambut baik oleh Ciung Wanara. Keduanya bersepakat, Jika Ciung Wanara menjadi pemenang dalam sabung ayam itu maka setengah dari kerajaan Galuh akan diberikan kepada Ciung Wanara dan Ciung Wanara akan di akui sebagai anaknya.  Ciung Wanara akan diangkat sebagai raja yang syah. Namun sebaliknya, jika Ciung Wanara kalah dalam pertandingan sabung ayam tersebut, maka nyawa Ciung Wanara menjadi taruhannya, dia akan dihukum mati sebagai bukti kekalahannya.
Dan sabung ayampun segera berlangsung dengan seru, pada awalnya ayam milik Ciung Wanara nampak kalah dan terdesak, bahkan....ayam itupun jatuh terkapar hampir mati. Ciung Wanara segera mengambil ayamnya dan dibawa lari ketepian sungai Cibarani untuk segera dimandikan agar ayamnya segar kembali. Disaat yang sedang kritis itu Nagawirupun datang dan masuk meraga sukma ketubuh ayam milik Ciung Wanara. Ayam itupun dengan serta merta menjadi segar dan kuat kembali. Ciung Wanara segera kembali membawa ayamnya  yang sudah dimandikan dan pertandinganpun dilanjutkan. Kali ini berkat ada kekuatan Nagawiru didalam tubuh ayam milik Ciung Wanara maka dengan mudah dan cepat ayam milik Prabu Barma Wijaya Kusumahpun mulai kalah dan terdesak, bahkan ayam itu sering lari ketakutan keluar dari arena pertandingan. Hingga akhirnya ayam milik sang Prabu kalah dan menemui ajalnya. Ciung Wanara kembali memenangkan pertandingan sabung ayam tersebut. Dia sangat bersyukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala anugrah yang telah dilimpahkannya.
Sesuai dengan kesepakatan Prabu Barma Wijaya Kusumahp  memenuhi janjinya dan mengakui Ciung Wanara sebagai putranya yang syah. Maka kerajaan Galuhpun dibagi dua oleh sang Prabu, setengahnya lagi  diberikan kepada  Hariangbanga dan diangkat pula menjadi raja menggantikan dirinya. Segala rahasia kehidupan Ciung Wanarapun terbuka sudah dan segala kesalahan yang dilakukan Dewi Pangrenyep terbongkar dengan sendirinya, Setelah Ki Lengser menceritakan bahwa ibunya Dewi Naganingrum masih ada dan di asingkan di sebuah hutan  Ciung Wanara sangat berbahagia dan segera menjemput ibundanya. Begitupun dengan kedua orang tua angkatnya Aki dan Niini Balangantrang dibawa serta kekeraton. Kini Ciung Wanara telah menjadi seorang raja.
Sementara Dewi Pangrenyep, mulai hatinya ketar ketir setelah tahu kalau Ciung Wanara adalah anak bayi yang dibuangnya  dulu. Hari-harinya jadi penuh dengan kegelisahan dan ke khawatiran. Hingga akhirnya kegelisahan dan ke khawatirannya itupun segera terjawab dan terwujud. Prabu Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya sendiri, maka segera membentuk pasukan khusus untuk menangkap Dewi Pangrenyep. Tanpa menemui kesulitan yang berarti Dewi pangrenyep segera tertangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana untuk membayar segala  kejahatan dan kekejiannya. Kini Pangrenyep mendekam didalam penjara, menangis dan menyesal tidak mengembalikan keadaannya dan tidak menjadikan dirinya lepas dari salah dan perbuatan kejinya. Sekalipun menangis darah tetap Pangrenyep harus mendekam didalam penjara sebagai tebusan atas dosanya.
Sementara Raden Hariangbanga  sangat kaget ketika mengetahui kalau ibunda tercintanya telah ditangkap oleh tentara prabu Ciung Wanara dan dijebloskan kedalam penjara. Pertarungan antara dua orang adik kakak beda ibu itupun tak dapat terelakan lagi. Meskipun raden Hariangbanga sangat sadar dengan apa yang telah dilakukan ibundanya, tetapi dia tetap ingin membela. Pertarungan sengit terus terjadi dan raden Hariangbanga harus berlaku satria dia kalah terdesak oleh adiknya Ciung Wanara.
Konon menurut tutur yang beredar di masyarakat tatar Pasundan Karena kalah terdesak dalam pertarungan tubuh raden Hariangbanga dilempar oleh  Ciung Wanara hingga menyebrangi sungai Cipamali, maka sejak itulah kerajaan galuh benar benar terbagi menjadi dua. TAMAT






Senin, 28 April 2014

Legenda Nini Anteh (Nyai Anteh)


Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.

“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”
“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.
“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.
“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.
“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.
“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak???” jawab Anteh dengan semangat.
“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.
“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.
“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.
“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.
“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa…jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.

Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya.
“Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.
“Ya ibu,” jawab putri.
“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”
“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.
“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”
“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.

Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya.
“Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”
“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”

Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.
“Siapa tuan?” tanya Anteh.
“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..”
Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.
“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”

Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.

Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.
“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.
“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.
Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.

Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.
“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh.
Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.
“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.
“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”
“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.
“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.
“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”
Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.

Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.
“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.
“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.
“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”
“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.
“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.
“Betul paman!” jawab Anteh.
“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.
“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.
“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.
“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.
“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.

Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.

Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.
“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.
“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.
“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri.
“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.
“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”
Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.

Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.
“Anteh!” tegurnya.
Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.
“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.
“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.
“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.
“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.
Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.”
Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.

Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya.
“Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”
Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.

Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.

Legenda Ciung Wanara (Cerita rakyat Pasundan)


Syahdan, dahulu kala berdiri sebuah Kerajaan di Tatar pasundan Jawa barat yang bernama kerajaan Galuh. Pada masa itu raja yang memegang tampuk kepemimpinan bernama Raden Barma Wijaya Kusumah. Sang raja memiliki dua orang permaisuri.  Yang pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum dan yang kedua bernama Nyimas Dewi Pangrenyep. Dan pada waktu itu kedua permaisuri tersebut sedang dalam keadaan mengandung.
Hingga tibalah saat melahirkan, Dewi pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Dari rahimnya lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan, yang kemudian diberi nama Hariangbanga. Tidak lama berselang tibalah saatnya Dewi Naganingrumpun melahirkan, pada saat Dewi Naganingrum melahirkan yang bertindak sebagai bidan(Paraji_Sunda) adalah Dewi Pangrenyep. Dari rahim Dewi Naganingrumpun lahirlah seorang bayi laki-laki yang tak kalah lucu dan tampan.
Entah iblis apa yang merasuki Dewi pangrenyep, ternyata dibalik kesediaannya dan kebaikannya mau membantu menolong persalinan kepada Dewi Naganingrum itu terselip rencana jahat dan sangat keji. Ternyata selama ini Dewi Pangrenyep tidak menginginkan seorang istri pesaing bagi dirinya, karena jika ada permaisuri lain maka kelak takhta kerajaan pun akan terbagi menjadi dua dan itu sangat tidak di inginkannya. Niat busuknya sudah disusun dan disiapkan sejak lama, agar semua berjalan sesuai dengan apa yang di inginkannya.
Pangrenyep ingin Dewi Nganingrum terbuang dari Istana, terusir secara hina dan nista, dan terpisah jauh dari anaknya, “...hhhmmmm rasakan bagaimana sakit dan pedihnya kau terpisah dari anakmu dan terusir dari kerataon dengan hina...!”.  Bisik hati jahat Pangrenyep, sambil terus berusaha membantu proses persalinan Dewi Naganingrum, karena memang ini saat yang ditunggu-tunggunya untuk melancarkan aksi jahat dan busuknya tersebut.
Tanpa sepengetahuan Dewi Naganingrum, bayi laki-lakinya yang lucu dan tampan itu telah ditukarnya dengan seekor anak anjing, sedangkan bayi yang sebenarnya telah dimasukannya kedalam sebuah keranjang dengan disertakan sebutir telur ayam, lalu bayi dalam keranjang itu dihanyutkannya kesungai Citanduy.
Sementara dikeraton kerajaan telah terjadi kehebohan, kabar yang sangat-sangat mengejutkan diluar dugaan semua orang yang ada dikeraton Galuh. Apalagi bagi seorang Raja kabar ini adalah kabar yang telah menodai nama besarnya dan menghancurkan harga dirinya sebagai raja. Bagaimana tidak Dewi Naganingrum yang selama ini dicintainya dan di kasihinya telah melahirkan seekor anak anjing!!!. Sungguh hina nista dan tercela !.
Dalam keadaan murka Raja memanggil Ki Lengser (Penasehat raja), tetapi kali ini bukan untuk meminta nasehat ! melainkan memerintahkan kepada Lengser agar Dewi Naganingrum segera dibunuh dan dibuang mayatnya ke tempat yang jauh.”Aku tidak mau tahu seperti apa dan bagaimana caranya! yang pasti bunuh Naganingrum keparat itu dan buang mayatnya ditempat yang jauh tanpa diketahui oleh siapapun!...mengerti???!”. Perintah Raden Barma Wijaya Kusumah dengan nada membentak dan wajah yang merah padam. “Ba...bbaaaik...segera saya laksanakan kanjeng Prabu!”. Ki Lengser tak punya pilihan dan tak ada waktu untuk mengajak berbicara lebih tenang dan manusiawi kepada rajanya, tanpa pikir panjang Ki Lengserpun segera pamitan dari hadapan rajanya untuk segera menjalankan tugasnya. Dengan hati yang sangat pilu dan miris Ki Lengser tak bisa berbuat banyak selain mengajak Dewi Naganingrum yang baru saja selesai melahirkan untuk segera keluar meninggalkan istana Galuh.
Sepanjang perjalanan Ki Lengser berpikir keras,  untuk menyelamatkan nyawa Dewi Naganingrum, karena dia yakin semua peristiwa yang terjadi adalah hasil rekayasa”Tidak mungkin dan tidak masuk akal mana bisa manusia melahirkan binatang, apalagi seekor anjing!”, gumamnya dalam hati. Walaupun perjalanan lama dan jauh sepanjang jalan Ki Lengser tidak berani  mengajak berbicara kepada junjungannya, dia hanya diam dan terus menatap lurus kedepan. Sementara Dewi Naganingrum yang berada dibelakang dalam sebuah gerobak kayu yang tertutup, yang sangat tidak layak untuk di isi oleh seorang permaisuri, sesampainya disebuah hutan belantara akhirnya ki Lengser berhenti. Dan meminta Dewi Naganingrum untuk ikut turun.
Dibuatkannya sebuah gubug untuk tempat tinggal bagi Dewi Naganingrum, dengan segala kelengkapannya meski sangat sederhana. Walaupun dengan hati berat terpaksa Ki Lengser harus segera meninggalkan junjungannya. Setelah dirasa cukup memberi nasehat kepada Dewi Naganingrum Ki Lengser berjanji akam menengoknya walaupun tidak bisa menjanjikan seberapa sering dan seberapa lama. Dewi Naganingrun hanya bisa pasrah pada Sang Maha Pencipta, dengan segala yang sedang menimpanya. Tidak mudah memang menerima dan menjalani sebuah peristiwa yang tiba-tiba saja dan menyakitkan, kini dirinya harus terbuang dari Istana yang megah yang serba mudah, dan sekarang harus berhadapan dengan kehidupan yang benar-benar baru dan susah, sendirian tanpa seorang embanpun, jauh dari khidupan ramai karena berada ditengah hutan belantara. Tetapi Dewi Naganingrum tidak ingin hanyut dalam kesedihan yang panjang. Ia masih bisa bersyukur memiliki seorang Lengser yang baik, yang mau menyelamatkan nyawanya. Dihatinya penuh harap dan cita, suatu hari nanti ia akan bertemu dengan putranya yang sebenarnya, dan bisa kembali hidup di Istana Galuh bersama keluarganya. Ki Lengserpun pulang kembali ke keraton Galuh untuk melapor kepada raja bahwa tugasnya membunuh Dewi Naganingrum telah diselesaikannya dengan baik. Dan untuk buktinya Ki Lengser telah membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan di hutan tadi. Sehingga nampak pada senjatanya garis-garis darah kering.
Lain Dewi Naganingrum lain pula dengan Dewi Pangrenyep. Dia merasa suka cita dengan usaha dan perbuatan jahatnya melenyapkan Dewi Naganingrum dari keraton, semua berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui selain orang-orang kepercayaannya yang telah terlibat pada rencana jahat tersebut. Semua yang terlibat bungkam dan tutup mulut, mulut mereka  telah penuh dijejali dengan hadiah yang tiada terhingga dari Dewi Pangrenyep. Tidak akan ada yang berani membocorkan rahasianya, selain telah dijejali dengan hadiah yang tiada terhingga merekapun di ancam barang siapa yang berani buka mulut maka nyawa akan menjadi bayarannya.
Sementara ditempat lain, disebuah kampung yang bernama kampung Gegersunten hiduplah sepasang suami istri yang sudah cukup tua. Tetapi mereka tidak memiliki anak satu orangpun. Merekalah yang bernama Aki dan Nini Balangantrang. Suatu sore keduamnya pergi kepinggiran kali Citanduy untuk menengok Babadon (perangkap ikan) yang sudah mereka pasang sejak pagi buta. Alangkah terkejutnya mereka dan sekaligus bahagia ketika sampai ditempat mereka memasang Babadon,karena disana mereka menjumpai sebuah keranjang besar yang berisi seorang  bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan, mungkin inilah jawaban doa yang selama ini mereka panjatkan tanpa lelah. Dengan segenap suka cita maka dibawanya bayi lucu dan tampan itu kerumah mereka dan dirawatnya sepenuh cinta dan kasih layaknya mereka merawat anaknya sendiri. Sedangkan sebutir telur ayam yang disertakan dengan bayi tersebut, telah dikirimnya oleh Aki Balangantrang kepada se ekor naga yang bernama Nagawiru dan bersemayam di gunung Padang. Naga ini bukanlah naga sembarangan melainkan jelmaan seorang dewa, dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami sebutir telur yang disertakan dengan bayi dari putra Barma Wijaya Kusumah. Yang kelak di kemudian hari telur itu menetaskan seekor ayam jantan dan menjadi binatang piaraan serta kesayangan dari si anak bayi yang dihanyutkan.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa bayi itu sudah tumbuh remaja kini, tampan dan elok rupanya. Dengan penuh ketekunan dan ketelatenan Aki dan Nini Balangantrang mewariskan semua ilmu kesaktian yang mereka miliki kepada anak angkatnya. Bahkan Nagawiru sekalipun tidak tinggal diam dia sering mendatangi dan mengajarkan segala ilmu kesaktian kepada pemuda tampan yang sampai sekarang belum diberi nama oleh kedua orang tua angkatnya itu. Hingga pada suatu hari Aki Balangantrang kembali mengajak putranya untuk berburu ke hutan  di sekitar tempat tinggal mereka. Sesampainya di hutan anak angkat Aki Balangantrang ini melihat seekor monyet yang dia anggap aneh karena baru melihatnya,”Ki kalau binatang itu apa namanya?” Aki Balangantrang pun menjawab, “Wanara!”. Kemudian diapun melihat seekor burung yang baru dijumpainya”kalau burung itu apa namanya Ki?”. Aki Balangantran menjawab”itu namanya ciung!”. Remaja gagah dan tampan itu terdiam sesaat, lalu menatap ayah angkatnya”Ki kalau mereka saja punya nama yang bagus, lalu mengapa saya tidak?, bolehkah aku pakai nama keduanya sebagai namaku?”. Aki Balangantrang terkesiap, baru disadarinya kalau anaknya itu belum punya nama yang sebenarnya, selain nama panggilan anak laki-laki pada umumnya. Akhirnya keduanya sepakat, nama dari kedua satwa itu digunakan sebagai nama anaknya. Jadilah ia bernama Ciung Wanara. (bersambung)

Legenda Lancang Kuning


Hatta,bermula dari sebuah kerajaan besar yang berpusat di Bukit Batu, Bengkalis. Kebesaran dan kejayaan panji-panji kerajaan tersebut adalah berkat kerja keras serta kejujuran dan kecintaannya kepada seluruh rakyat yang dipegang oleh Datuk Laksamana Perkasa Alam yang dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, dengan santun dan penuh hormat, Panglima Umar menyampaikan isi hatinya kepada Datuk Laksamana Perkasa Alam untuk menyunting Zubaidah, si bunga negeri. Sambil tersenyum, Datuk Laksamana pun memberikan restu. Karena mengingat jasa-jasa Panglima Umar yang selama ini telah mengabdikan dirinya pada kerajaan dengan segenap jiwa dan raganya. Maka Datuk Laksamana bertekad akan menggelar perhelatan besar-besaran pada waktu pernikahan tersebut. Diluar sepengetahuan Panglima Umar, sebenarnya sahabatnya sendiri Panglima Hasan menaruh hati yang sama pada Zubaidah si bunga negri. Otomatis kabar pernikahan dan perhelatan besar-besaran yang akan dilaksanakan oleh Datuk Laksamana Alam Perkasapun menjadi pedang penoreh luka bagi Panglima Hasan.
Bara dendam dan kebencianpun menyala dan berkobar hebat didada Panglima Hasan. Akal sehatnya telah terkalahkan dengan api cemburu dan kebencian. Siasat busuk pun langsung disusun. Dengan licik, Panglima Hasan mendatangi rumah salah seorang bomoh (dukun) kerajaan yang bernama Domo untuk menyampaikan mimpinya kepada Datuk Laksamana agar membuat Lancang Kuning (perahu) untuk mengamankan seluruh perairan.
Mengingat kerajaannya memiliki perairan yang sedemikian luas, Datuk Laksamana pun langsung setuju dan memerintahkan agar Lancang Kuning segera dibuat. Waktu terus saja berlalu, menjelang Lancang Kuning usai dibuat, mendadak tersiar kabar bahwa Bathin Sanggoro, melarang keras para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di wilayah kekuasaannya di Tanjung Jati.
Datuk Laksmana pun langsung memerintahkan Panglima Umar untuk mengecek kebenaran kabar tersebut. Panglima Umar yang sebenarnya ingin mendampingi sang istri saat melahirkan anak pertamanya, akhirnya dengan perasaan berat memutuskan untuk berangkat. Setelah mengarungi lautan selama beberapa hari, akhirnya, Panglima Umar beserta pasukan pilihannya menapakkan kaki mereka di Tanjung Jati. Ketika kabar itu ditanyakan kepada Bathin Sanggoro, dengan cepat lelaki bertubuh kekar itu menyahut “Tak ada niatan atau kata-kata terlontar yang menyatakan hamba aku melarang nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati”.
Kata-kata itu membuat Panglima Umar harus berpikir keras untuk mengurai makna yang terkandung di dalamnya. Ketika akan pulang, Bathin Sanggoro pun berbisik; “Panglima, tolong selidiki dari mana asal muasalnya berita tersebut”.
Dalam perjalanan pulang, Panglima Umar langsung berkeliling untuk mencari si pembuat berita bohong tersebut. Dan tak terasa, sebulan sudah ia dan pasukan pilihannya melanglangbuana. Ketika malam purnama penuh, nun jauh di sana, semua penduduk dan pemuka kerajaan Bukit Batu berbanjar dengan tertib di tepi laut untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning. Semua bergembira, kecuali, Zubaidah yang dengan setia menanti suaminya yang belum juga kembali dari menunaikan tugasnya.
Sementara itu, beragam keperluan yang berhubungan dengan peluncuran Lancang Kuning telah disiapkan dengan saksama. Upacara yang dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning yang dilakukan oleh Datuk Laksamana dan dilanjutkan oleh Panglima Hasan lalu pengasapan akhirnya, semua yang hadir diminta untuk berdiri di samping Lancang Kuning. Berbarengan dengan hingarnya bebunyian yang ditabuh, maka, semua yang memegang dinding Lancang Kuning diminta untuk mendorongnya ke laut lepas. Tetapi apa daya, walau dilkakukan berkali-kali,  Lancang Kuning tak juga bergeming dari tempatnya.
Dengan muka merah padam, Bomoh Domo datang bersembah pada Datuk Laksamana sambil berbisik; “Ampunkan hamba tuanku, Lancang Kuning ternyata meminta korban perempuan hamil sulung”. Setelah termenung beberapa saat, akhirnya, terdengar suara lantang Datuk Laksamana “Peluncuran Lancang Kuning ditunda sampai datang waktu yang tepat!”. Semua yang hadir, termasuk para pemuka kerajaan pun dengan tertib kembali ke rumahnya masing-masing. Alih-alih kembali, Panglima Hasan yang sudah dirasuk rindu dendam malahan menemui Zubaidah. Didapatinya Zubaidah sedang merenung, terkejut dan langsung bertanya “Mengapa engkau kembali lagi Panglima Hasan?”
Bukannya menjawab, Panglima Hasan malahan balik bertanya dan merayu Zubaidah “Apa yang kau tunggu dan harapkan Zubaidah?, Panglima Umar tak mungkin pulang lagi!, biarkanlah aku yang menjadi ayah dari anak yang tengah kau kandung itu!”.
Zubaidah pun marah dan langsung menyergah “Cis … tak sudi aku menjadi istri dari seorang pengkhianat!”. Panglima Hasan sontak marah dan mengancam Zubaidah “Jika engkau masih menolak, maka tubuhmu akan aku jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut!”, sahut Panglima Hasan tak kalah sengit sambil memberikan tanda kepada beberapa
begundal setianya.
Apa daya tenaga seorang wanita yang tengah hamil tua. Dengan mata tertutup, Panglima Hasan langsung mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan memerintahkan para begundalnya untuk mendorong perahu besar tersebut ke laut lepas. Ajaib! meskipun hanya didorong oleh beberapa orang saja, Lancang Kuning berhasil masuk ke laut lepas dengan meninggalkan tubuh Zubaidah yang luluh lantak berserakan di tepian pantai.
Berbarengan dengan lunas Lancang Kuning menyentuh air laut, cuaca yang semula terang  benderang sontak berubah gelap. Hujan mendadak turun bagaikan ditumpahkan dari langit disertai dengan kilatan petir yang berlompatan sambar menyambar dan angin yang menderu menakutkan!.
Sementara itu, Panglima Umar mulai merapat ke Pelabuhan Bukit Batu. Tanpa berlama-lama, Panglima Umar pun segera melangkah pulang untuk menemui istrinya. Sesampainya di rumah Panglima Umar tidak mendapati istrinya, rumah dalam kondisi kosong. Kerinduan yang sudah membuncah didadanya gagal terlontarkan karena yang dirindu tak ditemuinya, sesaat Panglima Umar berpikir dan menduga-duga kemana gerangan istrinya pergi. “Jangan-jangan Zubaidah menantiku di pelabuhan”, demikian bisik hati Panglima Umar yang langsung melangkah menuruti kata hatinya. Tak lama kemudian ia bertemu dengan Panglima Hasan yang menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana. Dengan perasaan tak karuan dan tanpa banyak bertanya lagi Panglima Umar langsung berlari ke tepian pantai yang menjadi tempat peluncuran Lancang Kuning. Tubuhnya bergetar hebat!, segenap gigi dan rahangnya bergemeretak menandakan emosi dan kemarahan yang tak dapat tertahankan lagi, kedua kepalan tangannya erat menggenggam, duka, sedih, amarah dan segala macam rasa berkecamuk di otak dan pikirannya, saat melihat kenyataan istrinya tercinta telah tewas dalam kondisi yanga sangat mengenaskan. Disapunya darah yang belum sempat mengering ditanah dan di usapkan kewajahnya sambil berteriak dengan lantang; “Aku akan membuat perhitungan pada Datuk Laksamana!”
Belum seberapa jauh melangkah, Panglima Umar melihat Datuk Laksamana berjalan ke arahnya. Tanpa banyak tanya, Panglima Umar yang sudah dirasuki dendam langsung menghujamkan pedangnya ke perut Datuk Laksamana yang langsung tewas seketika. Pada helaan napas yang ketiga, datang Pawang Domo yang menceritakan kejadian sebenarnya.  Panglima Umar pun bergegas mencari musuhnya, Panglima Hasan. Dari kejauhan, tampak Panglima Hasan telah bersiap-siap untuk melarikan diri dengan menggunakan Lancang Kuning. Tetapi sayang, sebelum tali tambat terlepas, Panglima Umar telah berhasil mendekati dan berteriak dengan lantang sambil menghunus pedangnya “Malam ini, siapa di antara kita yang akan mati dengan disaksikan oleh seluruh penduduk negeri!”.
Pertarungan sengitpun terjadi, dengan segenap kemarahan dan dendam Panglima Umar menerjang Panglima Hasan. Panglima Umar terus menyerang dengan ganas tanpa memberi kesempatan pada musuhnya untuk dapat membalas serangannya. Hingga akhirnya Panglima Umar berhasil membabatkan pedangnya kebagian perut dan dada Panglima Hasan darah segarpun menyembur! Tubuh Panglima Hasan oleng tanpa dapat dikendalikan lagi. Perlahan, tubuh itu mulai lunglai, berlutut dan akhirnya terjatuh ke laut lepas. Panglima Umar tertegun sendirian di atas kapal  Lancang Kuning lalu ia berteriak dengan lantang:
“Aku tak mungkin kembali ke Bukit Batu karena telah membunuh Datuk Laksamana akibat fitnah keji yang telah dilakukan  Panglima Hasan yang juga baru saja kubunuh …! karena itu, aku akan pergi selama-lamanya dengan menggunakan Lancang Kuning!”. Lancang Kuningpun mulai bergerak perlahan ke tengah lautan terus bergerak hingga sampai ke Tanjung Jati.
Menurut tutur, ketika sampai di Tanjung Jati, Lancang Kuning disapu oleh angin puting beliung hingga karam. Panglima Umar dan Lancang Kuning terkubur di tengah laut, sementara, kerajaan Bukit Batu pun mulai mundur dan akhirnya hilang ditelan Zaman.

Jumat, 18 April 2014

RUMAH KUNO (Cerita bersambung)

         Pertemuan di pinggir danau

Hari Minggu yang cerah, Matahari pagi bersinar dengan cemerlang. Udara begitu segar dan sangat menyenangkan diiringi suara burung bercicit ramai menyambut pagi. Hari Minggu pertama kami menempati sebuah rumah kuno peninggalan jaman Belanda dulu, yang tentu saja usianya sudah sangat tua, lebih tua dari usia keluargaku sendiri. Tetapi rumah ini sangat terawat dan sangat layak huni, halaman depan dan belakang sangat luas dan asri, apalagi lingkungan tempat berdiri rumah ini masih berada dilingkungan pedesaan yang sangat sejuk. Konon kabarnya rumah ini bekas tempat tinggal seorang pejabat pemerintahan di jaman kolonial Belanda dulu. Penghuninya beberapa kali ganti karena rumah ini adlah rumah dinas pada jamannya.
Disekitar  rumah masih terhampar luas perkebunan teh, pada sisi timur perkebunan ini ada sebuah danau kecil buatan, sangat dekat lokasinya dengan hutan lindung yang sangat lebat dan asri. Pemandangan disekitar danau sangat indah,  meskipun tidak terawatt dengan baik tetapi tempat itu masih sangat menyenangkan untuk dipakai bersantai sekedar melepas lelah atau sengaja berjalan-jalan untuk menikmati indahnya alam. Aku bersama keluarga sebenarnya sudah lama menginginkan tinggal  seperti ini, apa lagi sejak Ayah pensiun dan aku juga sudah beres kuliah keinginan kami untuk pindah tempat tinggal kepedesaan semakin kuat. Tetapi baru kali ini terlaksana, itupun berkat jasa mang Jojo sopir pribadi Ayah yang memberitahukan kalau dikampungnya ada satu rumah kuno yang mau dijual oleh pemiliknya. Entah bagaimana awal ceritanya kalau rumah kuno peninggalan jaman Belanda ini menjadi milik pribadi salahsatu penduduk kampung Cimeureun ini. Tidak penting bagi kami yang pasti kami sudah memiliki dan menghuni tempat ini dan kami sangat menyukainya.
Orang tuaku punya bisnis di kota, yang lebih dari cukup untuk menopang kehidupan kami ditempat ini, bisnis yang sudah dijalankan sejak aku masih kecil. Tak heran jika sekarang aku juga sudah tidak perlu susah payah tinggal melanjutkan saja. Biasanya seminggu sekali aku ke kota sekedar untuk mengecek perkembangan bisnis tersebut dan melakukan pertemuan singkat dengan para karyawan dan orang-orang yang sudah menjadi kepercayaan ayah untuk mengelola bisnisnya. Aku mungkin termasuk orang yang beruntung, selesai sekolah tidak harus pusing tujuh keliling untuk urusan mencari kerja. Allhamduliilah aku sangat bersyukur dengan kondisi ini.
Usai mandi pagi, aku segera bersiap daengan pakaian olahraga, aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati indahnya pagi. Setelah berpamitan pada Ayah dan Ibuku akupun berlari-lari kecil menyusuri jalanan pedesaan,”hmmmmm….segar sekali, sangat berbanding terbalik dengan lingkungan perkotaan yang penuh sesak dengan bangunan tinggi dan pertokoan, ditamabah macetnya jalanan dan hiruk pikuknya orang yang setiap hari sibuk dengan urusan hidupnya masing-masing.
Aku sengaja mengambil jalan lewat belakang rumah karena lebih dekat jaraknya untuk  menuju ke danau kecil dipinggir hutan lindung itu. Danau itu walaupun danau buatan bukan buatan jaman sekarang tetapi sama buatan pada jaman Belanda juga, katanya dulu danau itu difungsikan untuk pembangkit tenaga listrik bagi desa Cimeureun ini. Sayang sekarang sudah tidak berfungsi lagi.
 Sesampainya disana, ah kebetulan sekali sedang banyak orang yang berjalan-jalan dan ada beberapa orang tua juga yang sedang asik memancing didanau ini. Aku berusaha seramah mungkin setiap berpapasan dengan orang-orang disini. Semuanya ramah juga ternyata membuat aku lebih mudah bersosialisasi. “Namanya saya Jati pak, lengkapnya Jati Rama”, aku menyodorkan tangan saat bapak yang sedang asik memancing iru menolehku dan menyapaku. Aku duduk jongkok disebelahnya, dan bapak inipun memperkenalkan dirinya, namanya pak Sumarna, beliau asli orang kampung Cimeureun. Usianya belum terlalu tua sebenarnya kalau aku taksir sekitar 43 atau 45 tahunan, tetapi karena pekerjaan sehari-harinya sebagai petani jadi ya agak nampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Asik juga ternyata ikut mancing dengan pak Sumarna, sesekali beliau bertanya tentang keluargaku dan satu pertanyaan yang aku rasa agak ganjil keluar dari mulutnya”Dek Jati….kenapa mau membeli rumah kuno bekas Belanda itu, apa tidak ada pilihan lain untuk dibeli dan di tempati?”, aku agak tercenung mendengar pertanyaan itu,lalu akupun balik bertanya sama pak Sumarna”mmm….memang kenapa pak dengan rumah Belanda itu?”. Yang ditanya balik hanya tersenyum mesem saja sambil menjawab pendek”o…tidak apa-apa hanya Tanya saja”.
Hari mulai agak panas dan pak Sumarna mengajak aku untuk pindah mencari lokasi yang lebih teduh untuk memancing. Aku menurut saja dan mengikuti langkahnya menuju sisi barat yang ada sebuah pohon kayu rindang dan akarnya menyembul kepermukaan tanah, sebagian lagi akarnya masuk ke danau kecil itu. Air danau nampak bening dan jernih, beberapa tumbuhan air menghiasi pinggiran danau dan ada segerombol teratai dengan bunganya yang putih bersih di bagian agak tengan danau. Beberapa burung pemakan ikan berseliweran terjun ke air memburu ikan-ikan kecil seperti yang berlomba menyelam.”Hmmmm…sayang aku lupa membawa kamera…”aku berguman sendiri, sangat merasa menyesal tidak bisa mengabadikan moment ini. Pak Sumarna nampaknya sudah mulai beres-beres peralatannya,”Sudah mau pulang pak?” tanyaku.”Iya dek Jati sebentar lagi lohor(Dzuhur dalam istilah Sunda), dan di tempat ini biasanya saat tengah hari sepi karena semua orang akan kembali kerumah masing-masing”. Jelas pak Sumarna. Ada sesuatu yang sebenarnya ingin pak Sumarna sampaikan padaku mengenai tempat ini, hanya saja mungkin beliau tidak ingin dianggap orang percaya takhayul.”Pak kalau boleh saya tahu memang kalau siang hari setelah lohor ada apa ditempat ini? Ada pantangan apa maksud saya”. Aku menccoba menebak-nebak. Pak Sumarna hanya tersenyum kecil sambil matanya menatap jauh ketengah danau. Kemudian beliau memasukan semua ikan hasil pancingannya kedalam ember kecil dan beranjak hendak pergi.”Dek Jati mau ikannya? Kalau mau kita bagi dua saja”. Aku Cuma geleng kepala dan menucapkan terimakasih. Kenapa pak Sumarna malah mengalihkan pertanyaanku. Aku semakin penasaran, akan aku tunggu sampai beberapa jam kedepan sebenarnya ada apa ditempat ini, bathinku.”Dek Jati belum mau pulang? Jangan lama-lama disini ya, apalagi sampai sore hari, sebaiknya kalau sudah tidak ada orang disini segera pulang saja, inikan masih hutan khawatir ada binatang buas”. Pak Sumarna mengingatkan ku. Akhirnya aku paham juga, iya memang masih hutan disini, wajar saja kalau ada binatang buas.”Ah…aku saja yang otak horror, kebanyakan menonton filem horror Jepang jadi begini”. Aku jadi mengomeli diriku sendiri.
Setelah pak Sumarna pulang aku terus duduk dibawah pohon ini sambil melempar-lempar kerikil kecil kepermukaan air danau. Bener juga, orang-orang mulai sepi satu persatu pulang meninggalkan tepian danau ini. Padahal hari masih siang, tengah hari bolong. Angin sepoi-sepoi meniup wajahku, menciptakan suasana kantuk, dan akupun terkantuk-kantuk dibuatnya. Entah berapa lama aku baru tersadar hari mulai beranjak sore, Matahari sudah teduh pertanda mulai condong ke barat. Aku benar-benar ketiduran…!. Tanpa tengok kanan kiri aku segera bangkit dan berlalu dari pinggir danau. Suasananya sangat sepi, sesekali terdengan suara burung hutan seperti sedang menebang pohon”crung…crung…crung..!” begitu suaranya. Air danau nampak beriak kecil dipermainkan tiupan angin, sesekali ada lontaran kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan ikan. Aku terus berjalan, tetapi ada keinginan seakan memaksaku untuk menengok kebelakang, ke tempat dimana aku tadi duduk dengan pak Sumarna dan aku ketiduran disitu. Perlahan, aku menengok kebelakang dan….”Agh…!!!” aku agak tersentak dan kaget, karena…ditempat itu ada sesosok orang sedang duduk di akar pohon besar itu, dia memunggungiku, aku berusaha menajamkan penglihatanku,” tadi…tadi…disana tidak ada siapa-siapa, lalu….orang itu darimana datangnya dan kapan???!!!”.Aku jadi bingung sendiri. Meskipun agak sedikit bingung dan takut aku berusaha mengawasi orang itu, ternyata seorang pria tua, dengan pakaian hitam dan celana hitam, rambutnya agak sedikit gondrog dan sudah memutih, dia asik duduk sambil memainkan kedua kakinya dipermukaan air, suranya terdengar kecipak kecipuk.
Rupanya dia merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba saja kepalanya menoleh ke arah ku, dan….”Argghhh…matanya putih semua, seddangkan kulit wajahnya seperti penuh dengan luka bakar!, sangat mengerikan, dia menyeringai kepadaku!”. Jantungku rasanya mau berhenti, beberapa langkah aku terjajar kebelakang saking kagetnya, dan tak ingin banyak berfikir aku segera membalikan tubuhku dan berlari meninggalkan temapat itu. Sepanjang jalan pikiranku terus terbayang pria tua itu atau lebih pantasnya disebut kakek tua, dengan matanya yang putih dan kulit mukanya yang keriput dan terkelupas seperti luka bakar.
Sesampainya dirumah, aku buru-buru masuk kamar mandi ingin menyegarkan badan dan merifreh  pikiran supaya bisa lupa dengan bayangan kakek tua tadi. Usai mandi aku duduk diruangan tamu, Ayah dan Ibuku sedang asik  menonton acara televisi. “jati seharian tadi kemana, jalan-jalan kok lama sekali, nyasar kamu?” Ayah melirik ke arahku sambil bertanya setengah meledek. Ibu juga ikut menimpali”Nyasar… pasti ke rumah gadis desa….!”. kedua orang tuaku malahan asik meledek aku yang masih terus berpikir dengan sosok kakek tua itu. Akhirnya aku mencoba menjelaskan kepada kedua orang tuaku kalau aku tadi bermain ketepian danau dipinggir hutan lindung dan bertemu dengan kakek tua yang menyeramkan itu. Ayah dan ibuku malahan tertawa dan terus meledek aku, katanya aku ini kebanyakan menonton filem horror Jepang, ya akhirnya begitu, sedikit-sedikit hantu.
Aku cuma bisa cemberut saja tidak ingin menimpali ledekan Ayah dan Ibuku. Lapar juga ternyata. Aku menggeloyor ke meja makan dan menyantap makanan yang sudah disiapkan Ibu, Si Lintar loncat kepangkuanku, dia menggesek-gesekan kepalanya keperutku. Lintar adalah kucing kesayanganku, bulunya tebal berwarna abu, hidungnya pesek sekali hampir sejajar dengan jidatnya, kupingnya lebar dan pendek, sedangkan ekornya sangat besar ditumbuhi bulunya yang lebat seperti sebuah kamoceng.
Dia selalu saja menemaniku makan sesekali dia suka menggigit-gigit lenganku yang sedang asik menyuap makanan, dikiranya aku sedang mengajaknya bercanda. Selesai makan aku malas pindah tempat duduk sambil memainkan kepala Lintar aku mencoba melupakan bayangan kakek tua yang menakutkan itu, sulit sekali seolah-olah bayangan kakek itu terus menempel dimemori otakku.
Hari menjelang magrib, bi Cucum menyalakan lampu ruangan, dan mang Adar suaminya sedang menutup-nutup pintu.”Dar pintu halam depan jangan dulu di kunci, saya ada keperluan kerumah pak RW sehabis magrib!” terdengar suara Ayah mengingatkan mang Adar.”Iya siap pak!” jawab mang Adar dari teras halaman depan. “Den Jati..kok masih duduk di situ sih, biasanya segera berwudhu kalau menjelang magrib, ayo sana wudhu dulu sebentar lagi adzan magrib!” bi Cucum menegurku yang masih bermalasan dikursi sambil memeluk Lintar dipangkuan. Tiba-tiba saja seperti ada angin masuk keruangan tempat aku duduk lampu diatas meja makanpun agak bergoyang sedikit keras ayunannya, sekelebat seperti ada bayangan orang masuk dan tercium bau yang tidak sedap seperti bau sampah busuk.”Miowwww….!!!!” Lintar tiba-tiba saja lomcat dari pangkuanku dan menubruk gelas bekas aku minum diatas meja, “PRANK!!!!” gelas jatuh dan beberapa piring kecil ikut terjatuh pecah dilantai. Lintar lari ke pojiok ruangan, badannya ditekuk dan bulunya merinding seperti ketakutan, lampu ruangan berkedip cepat beberapa saat seperti mau mati. Aku dan bi Cucum saling pandang tanpa terucap sepatah katapun…..

Mimpi yang berulang

Malam tanpa terasa terus merayap, menyelimuti alam beserta pengisinya. Udara yang dingin memaksaku untuk bergulung didalam selimut tebal. Lintar yang biasanya ikut tidur disampingku kini malahan tidak mau diam terus saja mengeong, sesekali dia mencakar-cakar kearah depan tanpa jelas apa yang dicakarnya, kadang dia tiba-tiba lompat kebelakang punggungku dan bersembunyi rapat, nafasnya terdengar seperti orang ngorok, sampai suatu saat dia melompat lagi sambil mengeong keras seperti ketakutan. Agak kesal aku melihatnya karena jadi mengganggu tidur.”Lintar diam kenapa kamu ini? Aku bangun dan mengambil Lintar lalu aku keluar kamar dengan niat memasuka Lintar kedalam kandangnya, berisik sekali kucing ini, tidak biasanya dia begitu. Kandang Lintar terletak disamping dapur. Agak jauh dari kamar  tidurku harus melalui ruangan keluarga dan agak berbelok kekanan.
Lampu ruangan sudah diganti dengan lampu kecil, cahanya agak muram. Ayah dan Ibuku juga sudah lelap, tidak jauh beda dengan mang Adar dan bi Cucum. Pasti mereka sudah tertidur, suara jam besar yang terletak di sudut ruangan terdengar dengan jelas, membuat suasana ruangan jadi agak sedikit seram. Aku berusaha fokus untuk tidak memikirkan hal-hal aneh dan menakutkan. Kejadian tadi magrib ah, sudahlah hanya sedikit angin yang mengejutkan. Aku terus melangkah menuju keruangan belakang rumah, Lintar diam dalam gendonganku. Sesampainya dipintu yang menuju kearah dapur dan kandangnya Lintar, tiba-tiba saja pintu terbuka sendiri pelan-pelan mengeluarkan suara menderit, ughhh…aku agak kaget dan menahan nafas, belum selesai rasa kagetku secara mendadak pintu terbanting keras dan menutup kembali! Agggghhhhh….!” Aku tidak bisa menahan suaraku dan berteriak agak keras. Lintar aku dekap kuat dan kucing kesayanganku itu jadi gelisah dalam gendonganku.
Suasana menjadi hening kembali hanya suara jangkrik dan binatang malam diluar bersahutan. Aneh suara pintu terbanting begitu keras tetapi penghuni rumah yang lain tetap nyenyak tidur seolah tek terusik sedikitpun. Sebenarnya aku merasa agak takut dan merinding, tetapi tak membuat urung niatku, sesegera mungkin aku masuk keruangan dimana kandang lintar ditempatkan dan akupun segra berbalik meninggalkannya untuk kembali kekamarku. Begitu sampai aku didepan pintu kamarku, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki diseret, entah dimana”sreet…sreeet…” suara itu kembali terdengar. Reflek aku menyentuh tombol lampu ruangan, agar terang benderang. Dan suara itupun hilang. Jam sudah menunjukan dini hari,ah sudahlah aku mau tidur!. Secepatnya aku masuk kamar dan menggulung tubuh dengan selimut tebal. Perlahan tapi pasti, aku mulai masuk kea lam tidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja aku kembali terbangun mendengar suara Lintar mengeong-ngeong keras dan….ah…bagaimana caranya dia bisa keluar sendiri dan melewati dua pintu ? Lintar sudah berada dikamarku! dia terus mengeong keras dan tidak mau diam! Aku duduk sambil menahan rasa kantuk yang masih menggayuti kelopak mata. “Lintar…kenapa sih kamu? diam hey!” Aku mulai kesal dengan kucing kesayanganku itu, tapi kucing itu tetap saja dengan ulahnya. Lampu dikamarku mendadak berkedip cepat seperti mau putus, lalu menyala lagi dengan sangat terang dan terus begitu sampai beberapa kali, aku mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, aku bangkit dari duduk maksud mau membuka pintu kamarku agar tidak terlalu seram, tapi…tiba-tiba saja lemari pakaianku yang berhadapan dengan tempat tidurku bergetar keras! Seperti diguncang-guncangkan! Aku terkesiap kaget bercampur rasa takut, bulu roma ditubuhku merinding semua inginnya berteriak memanggil Ayah dan Ibuku, tetapi suaraku seperti hilang begitu saja! lampu kamarku kian mengecil cahayanya….diluar dugaanku dari pintu lemari itu muncul sepasang tangan keriput kering seperti bekas terbakar menggapai-gapai ke arahku disertai suara nafas berat dan parau…tangan itu semakin mendekat ke tubuhku, keringat dingin mengalir deras aku berusaha untuk berdoa…tetapi salah terus dan bibirku seperti terkunci!!!....AAAAAAAGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!, akhirnya aku bisa berteriak keras ! BUGH! Tubuhku terbanting kelantai, lampu kamarku kembali terang benderang seperti biasa. Punggungku terasa sakit bekas terbanting tadi. Lintar kucingku tidak ada diruangan kamar, “kemana dia???”. Pintu kamarku masih tertutup rapat dan lemari itu….masih tetap tegak ditempatnya.” Mimpikah ini” aku bergumam sendiri, perlahan aku bangkit dan menghampiri meja tempat aku meletakan televisi. Aku nyalakan untuk membuang rasa takut dan kaget tadi. Sudah hampir jam empat pagi ternyata, sebentar lagi subuh. Di luar sana terdengar suara bi Cucum sedang mengaji, dan sayup-sayup mang Adar sedang wirid. Ah….lega rasanya, sudah ada yang bangun dirumah ini.
Tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk dari luar,”ya…siapa???” tanyaku dari dalam. Bi Cucum rupanya menghantarkan minuman hangat buatku. “Tumben kok nonton TV sepagi ini?” Tanya bi Cucum kepadaku. “Iya bi susah tidur nih, terbangun terus, makasih minumannya bi”, jawabku. Bi Cucum memang sealu begitu kalau mendengar aku sudah bangun jam berapapu pasti akan membuatkan aku minum, terkadang suka menawarkan camilan juga biar gak bengong katanya.
Perasaanku mulai lega, aku segera pergi kekamar mandi mau berendam air hangat biar sehabis solat subuh aku bisa tertidur lelap. Biar saja urusan nengok kantor Ayah agak siang saja nanti berangkatnya, tidak akan nyaman nyetir sambil ngantuk.
Menjelang pagi akupun tertidur lelap sekali, balas dendam dengan tidur semalam yang terganggu oleh mimpi yang menakutkan itu. Sekitar jam sepuluh pagi aku baru berangkat ke kota.(BERSAMBUNG............)

Senin, 14 April 2014

PETUALANGAN ZIRA

EPISODE KRISTAL BIRU (Lanjutan)

Tubuh Zira terus melesat cepat didalam lorong cahaya berwarna biru, hingga berakhir pada satu titik cahaya putih keperakan”BLUUUOOPSSZZZ!!!”, tiba-tiba saja Zira sudah berada pada sebuah ruangan yang cukup luas. Semua dindingnya memantulkan cahaya putih keperakan, ruangan itu berbentuk segi enam seperti kotak sarang lebah, disetiap garis bidangnya terdapat tombol-tombol digital yang tidak dipahami oleh Zira. Kini tubuh Zira seolah terperangkap didalam ruangan ini, udara didalamnya terasa nyaman tidak menandakan kalau ruangan  itu berbahaya, seolah kehilangan bobot tubuh Zira melayang statis dengan posisi berdiri didalam ruangan itu, kemudian batu Kristal biru yang erat dalam genggamannya kembali bergetar seperti ingin dilepaskan, otak Zira seolah membaca apa yang di inginkan benda itu, seketika Zira melepaskan genggamannya dan Kristal biru itupun ikut melayang statis didalam ruangan itu.
 Zira berusah menengadahkan wajahnya menatap langit-langit ruangan yang sangat tinggi, nampak dari jauh kontruksi bangunan atapnya dibuat seperti sarang laba-laba, entah atapnya dari bahan apa yang pasti seperti kaca transfaran semua yang ada di atas atap Nampak jelas dari dalam ruangan. Ingin sekali Zira menggenjot tubuhnya untuk sampai ke langit-langit ruangan itu, tetapi belum sempat dia mengumpulkan semua tenaganya, Kristal biru itu mengeluarkan sura berdesing seperti suara peluru melesat dari dalam senapan tetapi tidak menyakitkan telinga. Zirapun teralihkan perhatiannya pada Kristal biru, dari benda itu muncul selarik sinar seperti sinar yang biasa kita lihat pada projector, dan sinar itu mmemantulkan cahayanya pada dinding yang memiliki tombol. Lalu muncul gambar hidup layaknya sebuah filem documenter, lengkap dengan narasi yang menjelaskan setiap peristiwa, nama benda, nama tempat dimana peristiwa itu terjadi termasuk nama tokoh-tokoh yang ada pada layar projector yang dihasilkan Kristal biru dengan diinding ruangan tersebut.
 Zira terkagum-kagum dan ajaibnya dia bisa menyerap dengan baik dan mudah semua informasi yang disampaikan dari layar tersebut. Setiap garis bidang dinding memberikan informasi yang berbeda, yang mengejutkan Zira pada dinding ke tiga tiba-tiba muncul peringatan, bahwa dia akan menghadapi sebuah simulasi pertempuran, ada tutorial yang harus di ikutinya dengan baik dan jika salah memahami tutorial tersebut Zira akan mendapatkan masalah yang sangat serius. 
Setelah berusaha memahami dan merekam semua tutorial dan perintah-perintah yang ada Zira segera mempersiapkan dirinya dengan kode menyilangkan tangan kanannya didada dan telapak tangannya ditutupkan pada jantungnya kemudian sedikit membungkukan tubuhnya tanda siap sedia. 
Dalam hitungan detik ruangan berubah menjadi sebuah medan pertempuran seperti benar-benar nyata Zira berhadapan dengan mahluk-mahluk aneh dari rupa maupun ukuran. Bahkan ada mahluk yang biasa dia lihat sebagai mahluk yang tidak berbahaya tetapi dalam simulasi pertempuran itu, mahlu berupa kecoa itu sangat berbahaya dan ukuran tubuhnya sebanding dengan ukuran se ekor gajah di alam nyata. Kecoa raksasa itu bisa mengeluarkan gas dari muklutnya yang berbentuk seperti bilah cerulit berhadapan. Zira tidak merasakan gentar sedikitpun. Dia Nampak tenang seolah tidak sedang menghadapi masalah, tubuhnya dengan lincah bergerak kekanan dan kekiri menghindari sergapan mahluk-mahluk aneh yang menyerangnya. Terkadan dia melayang cepat keudara kemudian menukik tajam dengan pukulan demi pukulan yang diarahkannya kepada musuh-musuh yang dihadapinya. Semua Nampak berjalan lancar tidak ada kendala sama sekali, simulasi pertempuran terus berlangsung cukup lama hingga semua musuh-musuhnya habis tak tersisa.
“Blaapsz!!!” akhirnya simulasi berakhir dengan gemilang, pada bagian dinding ke 4-6 Zira kembali dihadapkan pada nasi dan pertunjukan seperti documenter. Semua lengkap terekam dengan baik dimemori Zira tanpa ada yang tertinggal.
 Zira kini telah tumbuh menjadi seorang manusia super tangguh. Tanpa disadarinya kejadian awal bertemu dengan cahaya biru itu telah merubah dirinya menjadi lebih baik bahkan menjadi manusia super. Cahaya biru itu adalah sebuah proses recovery pada diri Zira baik secara jasadi maupun secara ruhani, semua  system tubuh dan otaknya telah direcovery atau diperbaiki  atau tepatnya di install ulang jika pada computer, bahkan kapasitas kemampuannya telah di upgrade menjadi berlipat ganda dengan proses tersebut.
 Dan Kristal biru yang digenggamnya adalah sebuah alat yang mengkoneksikan Zira dengan segala sesuatu yang berada disekitarnya. Kristal biru adalah sebuah rancangan sangat unik dan hebat, dia  mampu memindai segala macam energy yang ada disekitarnya dengan respon yang berbeda dan memproyeksikannya secara berbeda pula. Kristal biru bahkan bisa menjadi sebuah alat teleportasi untuk membantu mengambil, mengalihkan dan menyampaikan segala macam bentuk materi yang diinginkan oleh pemegangnya. Bahkan Kristal biru adalah sebuah alat pembuka portal antar dimensi yang berbeda dengan masa yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Apakah Zira menyadari dan memahami semua itu? Belum !!! Zira masih dalam proses yang agak panjang untuk bisa memahami kemapuan Kristal biru dan bisa menggunakannya dengan baik dan benar. Didalam tabung segi enam raksasa itu Zira seolah dikembalikan kepada masa awal sebuah pembelajaran ilmu pengetahuan. Setiap saat dia menghadapi gemblengan dan latihan serta menerima berbagai maacam informasi dari setiap tutorial ataupun dokumen yang disampaikan oleh Kristal biru melalui dinding canggih pada ruangan tersebut. 
Dari waktu kewaktu kemampuan fisik dan fsikis Zira terus meningkat dan mengalami perubahan dasyat. Kini Zira sudah bisa mengendalikan tubuhnya untuk bisa bergerak bebas didalam ruangan yang tadinya hanya memerangkap dirinya secara statis dan melayang di antara lantai dan langit-langit. Suatu kali ia mencoba mencapai  puncak langit-langit ruangan dan ketika dirinya sampai disana, ia berdecak kagum, ternyata diluar sana sebuah tempat yang sangat indah.
Ada sebuah pintu transfaran yang terbuat dari energy cahaya berwarna putih seukuran pintu rumah biasa. Ia mencoba menyentuhnya perlahan dan ketika disentuh muncul kilatan-kilatan listrik yang kemudian menariknya keluar ruangan.
 Zira sudah berada diluar ruangan tubuhnya melayang diudara seperti seekor burung bebas dari sangkar Zira melesat kesana kemari menikmati waktu untuk melihat suasana sekitar. Ya tempat itu begitu indah dan tersusun secara baik seolah dirancang dengan sempurna. Bangunan berbentuk tabung segi enam itu berada tepat ditengah-tengah area, disekitar bangunan itu ada lagi lingkaran lingkaran serupa tetapi tidak menampakan ada rongga ruangan didalamnya, semakin keluar lingkarans egi enam itu semakin rendah dinding bangunannya. Diantara bangunan itu terdapat sumber-sumber air yanga sangat jernih dan besar, mata air lebih tepatnya, tetapi tidak seperti mata air pada umumnya yang memancar dan mengeluarkan air tumpah kepermukaan tanah. mata air ditempat ini  sangat berbeda, air yang dikeluarkannya membentuk sebuah bulatan bola air dan tidak tumpah melainkan terus berputar pada  masing-masing tempatnya, seolah melihat permainan bola air sungguh unik dan ajaib.
 Zira menggenjot tubuhnya  untuk terbang lebih tinggi agar bisa melihat keseluruhan permukaan tempat tersebut lalu berhenti pada jarak ketinggian yang dirasanya sudah cukup, ternyata tempat tersebut adalah sebuah pulau kecil yang terletak ditengah samudara luas. Tepian pulau kecil ini seperti sengaja dibentengi oleh tebing bebatuan keras yang menjulang tinggi secara rapat dan estapet sehingga sangat sedikit sekali kemungkinan jika pulau ini akan musna tersapu badai air lautan. Zira kembali merendahkan jarak terbangnya untuk mengamati alam sekitar secara leluasa, pepohonan beraneka ragam. Banyak buah-buahan yang bisa dipetik dan dinikmati sebagai makanan. Tetapi aneh dan ajaibnya temapt ini tidak ada seorangpun manusia yang Zira temui sekalipun dia mengelilingi pulau ini berulang kali. Tetapi tempat ini terawat dan tertata rapi, enak dipandang dan ditempati.
 Sesudah merasa cukup berkeliling dan mengenali alam sekitar Zira kembali terbang kepuncak bangunan berbentuk segi enam itu dan ia kembali menyentuh pintu energy cahaya itu.”BALSSSSTTT…!!!!!!!!!!” Zira kembali masuk kedalam ruangan bangunan tersebut. 
 Entah perintah datang darimana, tetapi Zira sangat merasa kalau dirinya ada yang mengawasi dan memprogram sebuah rancangan besar untuk dirinya.
Zira mencoba menurunkan tubuhnya untuk menyentuh lantai dari ruangan tersebut, karena selama berada didalam ruangan itu dirinya belumpernah secara sengaja mendaratkan kedua kakinya dilantai, kecuali saat ia menghadapi simulasi peperangan atau pun simulasi menggunakan semua energy tubuh yang sudah dikuasainya. Tinggal beberapa centimeter saja telapak kakinya menyentuh lantai, Kristal biru yang melayang statis berbunyi mengeluarkan suara…bip…bip..bip…dan semakin lama semakin cepat bunyinya, Zira mengurungkan niatnya lalu kembali menghampiri Kristal biru yang mulai beroputar cepat dan mengeluarkan kilatan-kilatan listrik. Semakin lama kilatannya semakin membesar dan memenuhi seluruh ruangan,”BUZZZZSHHHHH…!!!”akhirnya kilatan-kilatan itu membentuk satu lingkaran energy  biru membungkus tubuh Zira. Awalnya Zira merasa agak sedikit tertekan dengan energy itu, lama kelamaan tubuhnya mulai menyesuaikan dan merespon energy itu, Zira mulai merasa nyaman, dalam keadaan terapung tubuhnya seperti sedang dipermainkan oleh energy itu.  
Terkadang posisi tubuhnya terlentang, sesaat kebudian tertelungkup, lalu miring kekanan dan kekiri, seperti sedang mencari arah keseimbangan. Pakaian yang melekat ditubuh Zira mulai menguap menjadi partikel yang sangat kecil sehingga tidak nampak lagi kecuali tubuh Zira yang polos tanpa sehelai benangpun. Energi biru itu semakin leluasa bersesuaian dengan tubuh polos Zira tapa terhalang materi apapun.
 Zira Nampak tenang dan sangat menikmati proses tersebut. Kini tubuhnya tetap mmelayang diam didalam balutan cahaya biru yang tipis dan transfaran.

PETUALANGAN ZIRA

EPISODE KRISTAL BIRU
Perawakannya cukup atletis untuk ukuran anak remaja usia 23 tahunan. Tampan wajahnya dengan bentuk muka mengkotak ditunjang tulang rahang yang kokoh. Alisnya tebal dengan sorot mata tajam penuh wibawa, sangat jarang berkata-kata apabila dirasanya tidak perlu. Tetapi sikapnya sangat sopan dan santun, senyumnya selalu terkembang disaat berpapasan dengan siapapun dengan anggukan kepala yang ramah dan hormat.
Malam itu Zira tengah duduk santai ditepi sebuah lapangan luas, lapangan yang biasanya digunakan sebagai tempat berlatih olah raga dan bela diri sejak kecil bersama teman-teman seusianya. Pandangannya lurus kelangit biru memandangi bintang-bintang yang gemerlapan, berkedap kedip seolah mengajak berbicara padanya. Musim kemarau memang langit selalu bersih menampakan warna biru tua yang anggun dan lembut. Kadang Zira suka berkhayal andai saja dirinya bisa terbang  melayang menghampiri gugusan bintang-bintang itu. Menyentuhnya satu demi satu. Zira tetap asik dengan khayalannya merasakan terbang tinggi kelangit biru, hingga…BLASTTTT…..SCIUUUUTTTTT....!!!! segumpal cahaya berwarna biru melesat dari arah langit , Zira terkagum melihatnya tanpa disadarinya cahaya itu melesat memburu kearahnya semakin lama semakin dekat dan cahaya itu semakin membesar. Zira panik dan sangat kaget dia berusaha bangkit secepatnya kemudian lari sekencang dia bisa. Tetapi cahaya biru yang berbentuk bola itu seolah tidak mau melepaskannya, WUSHHHHHHHHH…bola cahaya biru itu bergerak semakin cepat memburu tubuh Zira yang berlari pontang panting untuk menghindarinya. Sia-sia usaha yang dilakukan Zira sekencang apapun dia berlari tak akan bisa menandingi kecepatan cahaya biru itu, langkah lari Zira sudah sampai ditepian danau yang ada dikaki bukit dekat tempat tinggalnya, tidak ada jalan lain didepan air dan dibelakang cahaya biru itu terus memburunya. Sudah kepalang pikir Zira diapun melompat menceburkan dirinya ke danau, tetapi kecepatan cahaya biru itu mendahuluinya dan”WUSSSHHH BLARRR…!” tubuh Zira tanpa bisa dihindarkan lagi disambar oleh cahaya biru yang memburunya, efek suara yang ditimbulkan oleh cahaya itu sangat dasyat, permukaan bumi dan danau seolah bergetar dengannya. Cahaya biru itu tidak meledak  meskipun suaranya membahana dia tetap membentuk bola lingkaran cahaya semakin terang birunya dan menampakan kilatan kilatan listrik berwarna keputihan. Sementara Zira……Ops!!! Sesuatu yang sangat diluar nalar telah terjadi, tubuh Zira tertelan oleh bola cahaya biru itu! Nampak secara transparan tubuh Zira menganbang statis terapung didalam rongga bola cahaya biru itu. Sedangkan bola cahaya berwarna biru itu semakin membesar dengan tubuh Zira yang tetap terapung ditengahnya. Kemudian beberapa detik kedepan cahaya biru berbentuk bola itu bergerak cepat dengan putarannyanya menuju kearah tengah danau kilatan-kilatan listrik yang dikeluarkannya semakin rapat dan kini kilatan itu menyentuh seluruh tubuh Zira yang berada didalamnya. Zira nampaknya tidak sadarkan diri, karena tubuhnya tidak terpengaruh oleh sengatan dan gumpalan kilatan listrik yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Kejadian itu terus berlangsung hingga beberapa jam kemudian…..Bola cahaya biru itu mencapai titik putaran yang semakin dasyat warnanya berubah semakin terang dan semakin terang….dan WUSHHH…DUMMMM!!!, kembali terdengar suara ledakan dasyat hingga langit malam seolah terang benderang. Tubuh Zira melesat terbanting dengan cepat seperti sebuah peluru yang ditembakan lalu tubuh itu mendarat ditepian danau dengan tanpa sehelai benangpun di ikuti sebuah benda berwarna biru yang terjatuh tepat disamping tubuh Zira yang polos tanpa sehelai benang.
Benda itu berbentuk seperti   sebuaah tongkat terbuat dari batu tetapi memiliki sisi yang bergaris tegak membentuk ruang segi enam dan ujung sebelahnya lagi meruncing, batu it uterus bersinar dan sesekali mengeluarkan kilatan listrik.
Suasana kembali hening hanya suara binatang malam dan gemerisik dedaunan yang digoyangkan angin malam, hampir menuju pagi saat Zira tersadar dari pingsannya. Alangkah kagetnya ia saat mendapati dirinya tergeletak dan tanpa sehelai pakaian pun menempel ditubuhnya. Saat beranjak untuk segera kembali pulang kerumah mata Zira terbentur pada satu benda yang tergeletak disampingnya, perlahan ia menyentuhnya dan DREEEEETTTTTT……..selarik kilatan listrik biru keputihan menyambar tangannya dan benda itupun segera tergengam. Cahaya batu Kristal itu mulai meredup seolah terserap dalam genggaman Zira. Tanpa banyak berpikir Zira segera bergegas pergi dari tempat itu, ia ingin segera sampai dirumah khawatir pagi segera datang sementara dirinya tidak memakai baju sama sekali, dengan segala tenaga yang dimilikinya Zira segera berlari sekuat mungkin. Wushhhh……suara angin seolah terpecahkan oleh tubuhnya, Zira merasa ringan dan melayang seakan tidak memiliki beban berarti untuk melarikan kedua pasang kakinya. Penuh rasa heran tetapi larinya tidak berhenti malahan semakin cepat tanpa rintangan. Setibanya dirumah dia segera masuk kamar, dihampirinya lemari pakaian untuk segera menutupi tubuhnya yang telanjang, begitu berhadapan dengan pintu lemari yang berkaca cermin, Zira terkaget sesaat, menatap bayangannya dicermin. Ada yang berubah dengan tubuhnya”wow….gumammnya….!!!” dengan penuh rasa takjub dan keheranan Zira mengamati semua otot tubuhnya yang semakin membesar dengan bentuk yang sangat kokoh dan ideal, lalu dia mengamati benda dari batu bening dengan warna biru yang masih digenggam ditangan kirinya. Pikirnya membatin”apa semua karena benda ini….lalu cahaya biru itu…dan…ah sulit dipahami !”. Diletakannya Batu Kristal biru itu diatas tempat tidurnya, kemudian ia segera mengambil pakaian dan mengenakannya. Matanya terasa berat mengantuk dan tubuhnya menuntut untuk beristirahat. Setelah lengkap berpakaian, Zira segera membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Sementara tangannya tetap memegang benda dari Batu bening berwarna biru itu seolah tidak ingin berpisah.
Perlahan tetapi pasti….matanya mulai tertutup rapat, nafasnya mulai teratur. Dada Zira yang semakin  bidang Nampak naik turun dengan suara nafas yang sangat halus nyaris tak terdengar ia memulai penyebrangannya ke alam tidur. Sesuatu terjadi dan ia rasakan. Tidur yang tidak biasanya, seluruh tubuhnya seperti terbalut energi yang tidak nampak tetapi jelas mendorongnya, dalam alam bawah sadarnya Zira melihat kilatan-kilatan cahaya berwarna biru seolah berputar putar dihadapannya. Kemudian sinar itu semakin cepat berputar sukar di ikuti pandangan mata hingga terbentuk sebuah lorong cahaya yang penuh dengan kilatan-kilatan listrin didalamnya, Zira terdiam  mengamati, tanpa ada rasa takut seperti yang dirasakannya saat awal  melihat cahaya biru dialam nyata, tiba-tiba saja batu kristan biru yang ia selipkan di pinggangnya bergetar hebat, Zira segera mencabutnya dan digenggamnya batu Kristal biru itu diluar dugaannya batu itu mengeluarkan kilatan listrik dan menyambar kilatan listrik yang ada pada lorong cahaya biru dihadapannya, tanpa ampun Zira tersedot oleh tarikan kilatan cahaya tadi dan masuk kedalam lorong cahaya……….BLASSSSSTTTTT!!!!!....(BERSAMBUNG............)